R.L. Stine INVASI MAKHLUK PEMELUK MANUSIA BAGIAN I (Goosebumps 2000 #4) Selamat Datang Di Abad BARU Dunia Horor. Goosebumps series 2000 Sejak mengambil bola jingga yang jatuh di pekarangan rumahnya, Jack Archer, si Manusia Piring Terbang jadi bertingkah aneh. Ia suka mendengar suara-suara yang tidak jelas asalnya. Suara-suara itu memerintahkannya untuk menyambut kedatangan "MEREKA", sebab "MEREKA" akan segera mendarat di bumi. Siapa sebenarnya "MEREKA" itu? Jack baru tahu jawabannya ketika bola jingga di kamarnya.... membuka! Baca kelanjutan ceritanya di buku no. 5 Invasi Makhluk Pemeluk Manusia (Bagian 2) 2000 kali lebih syereeem Alih Bahasa: Sutanty Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6 Jakarta 10270 Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 1 KADANG-kadang kupikir adik perempuanku itu makhluk dari planet lain. Namanya Billie. Usianya tujuh tahun. Dan luar ia kelihatan normal - kecil, agak kurus, dengan rambut pirang ikal dan mata cokelat besar, seperti mataku. Tapi kalau ia anak bumi yang normal, kenapa ia menyebalkan sekali. Masalahnya, ia suka sekali bersaing. Meski aku sudah umur dua belas tahun, ia selalu mesti lebih hebat daripadaku, dalam segalanya. Apa pun urusannya, pokoknya ia mesti selalu jadi yang pertama, terbaik, dan tercepat. Apa aku jadi kesal karenanya? Tebak saja. Misalnya hari ini. Kami sedang duduk nonton TV, sambil makan keripik kentang. “Hei, lihat, Billie,” kataku sambil menunjukkan sepotong keripik berukuran sebesar tanganku “Lihat nih keripik ini.” “Ah, Jack, keripikku dua kali lebih besar,” sahut Billie. Aku mendesah. “Aku sudah pernah nonton film ini,” kataku padanya. “Aku sudah tiga kali,” sahut Billie. “Aku jadi sakit perut gara-gara keripik ini,” erangku. Billie ikut mengerang. “Aku sakit perut dan sakit kepala” Nah, ngerti kan? Anak bumi yang normal tidak bakal bertingkah begitu kan? Aku mengambil sejumput keripik lagi dan kembali menatap layar TV. Kami sedang nonton film tentang alam binatang berjudul Fangs, sebab Billie senang melihat binatang-binatang saling memangsa. Sebenarnya aku juga suka film seperti itu, tapi aku lebih. suka film tentang angkasa luar, benda-benda langit tak dikenal.... Kumasukkan keripik kentang yang berminyak itu ke mulutku sambil nonton seekor singa gunung merobek-robek seekor kijang. Mendadak film itu dihentikan dan di layar muncul tulisan: BULETIN KHUSUS. “Mana filmnya?” protes Billie. “Kita sedang nonton bagian yang asyik.” “Ssst!” kataku. Aku suka mendengar buletin khusus. Seorang wanita bertampang serius muncul di layar. “Berita khusus dari kantor NASA,” katanya. “Sebuah objek tak dikenal telah memasuki orbit bumi .“ “Billie, itu pasti pesawat ruang angkasa yang datang menjemputmu,” godaku. “Mereka menjemputmu, Manusia Piring Terbang!” balas Billie. “Jangan sebut aku begitu!” bentakku marah. - Mau tahu kenapa Billie menyebutku Manusia Piring Terbang? Tidak usah ya! Aku kembali melihat ke layar. “Menurut NASA, objek tersebut kemungkinan adalah komet atau meteor,” kata si pembaca berita. “Ukurannya sangat besar. Para ilmuwan NASA terkejut bahwa benda itu tidak terbakar ketika memasuki atmosfer kita” Seorang pria berjas lab putih tampil di layar. Ia melepaskan kacamatanya dan menggosok-gosok mata. “Kalau objek tersebut memang komet,” katanya, “Berarti itu dari jenis yang belum pernah kita lihat.” “Hebat!” teriakku sambil melompat dan sofa. “Aku ingin sekali melihat komet sungguhan!” “Aku sudah pernah melihat komet,” ejek Billie. “Bukan satu, tapi dua komet.” Kalian percaya? Kalian mengerti sekarang, kenapa kadang-kadang terjadi pertengkaran hebat dalam keluarga kami, keluarga Archer? Kulempar Billie dengan bantal kursi. “Jangan berlagak terus!” kataku. “Dan jangan membual lagi!” Mata cokelat Billie berkilat-kilat dan ia nyengir lebar. “Oke, Manusia Piring Terbang,” katanya. “Aaaagh!” aku mengerang marah dan hendak keluar dari ruangan itu. Di layar TV, acara film sudah dilanjutkan lagi. “Jack, kau mau ke mana?” tanya Billie. “Mau mengintai Mr. Fleshman,” sahutku. “Lagi?” Aku mengangguk. “Ada yang aneh di rumahnya,” kataku. Mr. Fleshman baru beberapa bulan yang lalu pindah ke sebelah rumahku Ia jangkung dan sangat menakutkan. Kulitnya cokelat sekali. Rambutnya yang keperakan dipotong pendek dan matanya juga berwarna kelabu keperakan, sangat pucat, hingga pupilnya hampir tidak kelihatan. Ia selalu mengenakan pakaian serba hitam. Kemeja dan celana hitam, dan naik mobil kecil hitam. Tapi ia jarang mengemudi. Ia lebih banyak diam di rumah. Mr. Fleshman tidak terlalu ramah. Ia tidak pernah menyapa kalau melihatku di pekarangan belakang. Kurasa pada orangtuaku pun ia tidak banyak bicara. Ia hidup sendirian saja di rumah tua yang besar itu. Suatu malam, beberapa minggu yang lalu, aku belum tidur di kamarku. Aku memandangi langit dengan teropongku. Aku suka mencari-cari bintang jatuh, satelit, dan semacamnya. Ketika melihat ke bawah, aku bisa memandang jelas ke salah satu jendela belakang Mr. Fleshman. Dan aku nyaris menjatuhkan teropongku ketika melihat.. semacam makhluk aneh. Aku hanya melihatnya sekilas, lalu makhluk itu menyingkir dari jendela. Tapi aku yakin akan apa yang kulihat. Makhluk itu sebesar beruang, berdiri di atas dua kaki. Entah binatang atau manusia, tapi dagingnya basah dan kelabu dan menggantung lemas seperti membusuk dari tulang-tulangnya. Salah satu sisi wajahnya seperti remuk dan satu mata bergantung-gantung di depannya. Makhluk itu hidup. Kurasa. Aku tidak terlalu yakin. Seperti kubilang, aku hanya sekilas melihatnya. Sejak itu aku terus mengintai rumah Mr. Fleshman. “Apa kau pernah melihat makhluk itu lagi?” tanya Billie dari sofa “Cuma satu kali itu,” kataku. “Tapi mungkin hari ini..." “Aku juga melihatnya,” sela Billie. “Malah aku melihat empat makhluk.” Aku tidak berkomentar. Aku menjulurkan lidah padanya, lalu lari ke kamarku untuk mengambil teropong. Pekaranganku dan pekarangan Mr. Fleshman dibatasi oleh pagar kayu, tapi Dad sudah lama tidak mengecatnya lagi. Beberapa kayunya hilang. Aku suka menyusup di antara celah-celah kayu dan mengintip dari jendela belakang Mr. Fleshman. Aku memandang matahari sore yang suram. Pepohonan limau di belakang petak bunga Mom sudah berbuah masak. Beberapa kuntum bunga tampak kering dan layu. Di TV dikatakan bahwa. musim panas ini merupakan salah satu musim -panas paling hebat di Los Angeles. Saat melintasi halaman rumput, sinar matahari yang panas membuat tengkukku gatal-gatal. Kuseka keringat di dahiku. Mom dan Dad menyewa rumah di pantai Malibu, tapi pada musim panas ini mereka terlalu sibuk bekerja, sehingga kami baru satu kali sempat pergi ke sana. Aku melangkah ke lubang di pagar dan menatap jendela dapur Mr. Fleshman. Sesuatu bergerak dl balik gorden yang putih. Makhluk itukah? Aku hendak mengangkat teropongku, tapi sesuatu menarik perhatianku. Sesuatu bergerak di langit. Aku tersentak. Teropong itu jatuh dan tanganku. Ada sebuah benda bundar di atas sana. Bersinar seperti emas. Kometkah? Oh, bukan! Benda itu meluncur turun dengan cepat. Tak ada waktu untuk lari atau merunduk Kuangkat kedua tanganku untuk melindungi diri... dan aku menjerit ngeri ketika benda itu menimpa kepalaku! 2 "OWWW!” Benda itu menghantam pagar dan melambung ke pekarangan belakang Mr. Fleshman. Dengan kepala pening aku terhuyung-huyung ke pagar, berusaha mengatur keseimbangan. Kugosok-gosok kepalaku dan kulihat bola itu berhenti bergulir di depan beranda belakang Mr. Fleshman. Bola? Ya. Ternyata itu bola, bukan komet. Bukan meteorit dari angkasa luar, melainkan sebuah bola karet keemasan, seukuran bola kaki. Masih bersandar di pagar, kupejamkan mataku, menunggu suara tawa. Ternyata benar. Aku mendengar suara tawa. Kubuka mataku. Empat teman sekelasku muncul sambil tertawa-tawa, menikmati lelucon mereka. Maddy Weiner tinggal di seberang jalan. Marsha James tinggal dua rumah setelah Maddy. Derek Lee dan Henry Glover tinggal di Westwood, tapi mereka juga satu sekolah dengan kami. “Yang benar saja!” gerutuku. “Lelucon kalian tidak lucu.” “Masa?” kata Derek. Ia ber-high five dengan Henry. “Kau sedang apa di sini?” tanya Maddy. Ia cantik. Rambutnya hitam panjang dan ikal, matanya biru dan bibirnya bagus. Ia pernah menjadi bintang iklan dan memperagakan busana. Teman baiknya, Marsha, berambut merah ikal dan wajahnya berbintik-bintik. Ia sangat pendiam, berlawanan dengan Maddy. Aku mengangkat satu jari ke bibirku. “Ssst.” Dengan waspada aku menoleh ke seberang pagar. “Ada yang aneh di rumah itu.” Henry tertawa. “Ada yang aneh di rumahmu, Jack. Kau yang aneh.” Mereka tertawa lagi terbahak-bahak. Mereka pikir lucu ya? “Aku serius!” teriakku. “Aku melihat makhluk aneh disana.”. “Maksudmu anjing?” tanya Maddy. “Tidak. Makhluk aneh,” sahutku. “Kulitnya kelabu, seperti busuk, kepalanya remuk dan hidungnya panjang, seperti hidung binatang, dan...” Henry menoleh ke Marsha. “Dia melongok ke jendelamu, Marsha!” Yang lainnya tertawa. Marsha mendorong Henry dengan keras ke pagar. “Yang berhidung panjang kan kau, Glover!” Henry langsung diam, Ia sangat sensitif tentang hidungnya yang besar dan bengkok. Henry dan Derek sama-sama bertubuh besar, tinggi, dan atletis. Mereka masuk tim sepak bola dan tim renang dl sekolah. Henry tampak agak lucu dengan matanya yang kecil hitam dan hidungnya yang bengkok. Ia mengenakan kawat gigi biru cerah di mulutnya. Derek berwajah bundar, seperti bengap, dengan rambut hitam pendek dan mata berwarna gelap yang selalu bersinar nakal. Derek sepertinya selalu punya gagasan lucu di kepalanya. Aku menyukai keempat temanku ini, tapi mereka suka menjengkelkan. “Kenapa sih kalian tidak percaya tentang makhluk yang kulihat itu?” kataku sambil menoleh ke jendela Mr. Fleshman. Apa ada yang balas menatapku dan balik jendela sana? Aku merunduk di balik pagar. “Kenapa kami tidak percaya?” kata Derek. “Sebab yang ngomong itu kau,” kata Maddy “Beri alasan lain,” sahutku. “Kau selalu membicarakan hal-hal aneh,”kata Marsha. “Misalnya?” tantangku. “Misalnya tentang Mr Potter,” kata Derek. “Apa?” seruku. “Mr. Potter? Maksudmu guru pengganti itu?” Derek mengangguk. “Ingat? Katamu dia itu serigala jadi-jadian. Dan kau mengatakan itu pada semua orang di sekolah. Ternyata dia cuma ingin memelihara janggut.” Mereka tertawa. “Oke, oke, aku memang salah waktu itu,” aku mengakui. “Dan piring terbang itu...,” Marsha menimpali. “Jangan lupakan yang satu itu.” Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan mereka, tapi aku tahu itu akan sia-sia. “Kau menunjukkan foto Polaroid piring terbang itu pada semua orang,” kata Maddy sambil gelenggeleng kepala. “Ternyata itu cuma lampu jalan yang tertutup pohon sebagian.” Henry menepuk-nepuk punggungku. “Hebat sekali, Manusia Piring Terbang.” Mereka tertawa lagi. Aku juga. Memang cukup lucu sih. Oke, oke, jadi sekarang kalian tahu kenapa aku dijuluki Manusia Piring Terbang. “Tapi kali ini aku benar,” kataku. “Kali ini aku melihat sendiri. Ada yang sangat aneh di rumah itu. Aku melihat makhluk jelek di jendela belakang itu. Sungguh!” Kuambil teropongku dan kuarahkan ke jendela belakang Mr. Fleshman. Dua mata balas menatapku. “Itu dia!” seruku sambil berpaling pada teman-temanku. “Cepat lihat ke sana! Kalian lihat? Lihat tidak?” Keempat temanku memandang ke balik pagar. Kulihat ekspresi mereka berubah. Mata mereka terbelalak kaget dan mereka terpekik. “Oh, wow!” kata Maddy. “Oh, wow!” 3 AKU berbalik dan melihat apa yang membuat mereka kaget. Mr. Fleshman berdiri di beranda belakangnya, dalam pakaian serba hitam, tangan di pinggang. Ia melotot marah pada kami dengan matanya yang aneh dan keperakan. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tanpa melepaskan pandang dari kami, ia memungut bola karet itu, lalu berdiri dengan cemberut sambil memainkan bola tersebut di antara kedua tangannya. “Aku kabur ah,” kata Henry. “Tunggu” teriakku. Tapi mereka berempat sudah ambil langkah seribu. Semuanya menyeberang jalan dan lari menghilang ke belakang rumah Maddy. Aku tercekat dan kembali menatap Mr. Fleshman. Ia masih menatap marah padaku, sepasang matanya menyipit, dan tangannya masih memainkan bola. Slap... slap... slap. *** Saat makan malam aku menceritakan pada Mom dan Dad tentang Mr. Fleshman dan bola karet. itu. “Dia menatap jahat padaku,” kataku. Kucoba menirukan tatapan tetanggaku itu. Mom dan Dad tertawa. Billie meniru-niru melotot. Orangtuaku tertawa semakin keras. “Tidak lucu,” gerutuku. “Aku tadi... ketakutan.” “Mr. Fleshman kelihatannya sangat penyendiri,” komentar Morn. “Kurasa dia tidak suka ada bola masuk ke pekarangannya.” “Memangnya kau sedang apa di sana?” tanya Dad. “Aku...” Aku ragu-ragu. Perlukah aku berterus terang? Aku sering dimarahi karena membuat takut Billie dengan cerita-ceritaku yang tidak keruan. Tapi aku tak bisa berbohong tentang yang satu ini. “Aku sedang mengintai rumahnya,” kataku. “Semalam sebelumnya aku melihat... monster atau semacamnya di sana.” Mom mengangkat tangannya. “Jack... stop!” “Sungguh!” teriakku. “Aku tidak melihat dengan jelas, tapi aku tahu. Itu...” “Aku juga melihat,” sela Billie. “Ada satu monster! Eh, tidak, ada dua monster di sana.” “Bohong” teriakku “Kau tolol amat." “Jangan mengatai adikmu tolol,” Mom memperingatkan. Dad berpaling pada Billie. “Jangan selalu ingin bersaing dengan kakakmu. Cerita-ceritanya sudah cukup konyol tanpa kautambahi.” “Tapi... tapi... tapi..” Aku terbata-bata. “Kau mempengaruhi pikiran adikmu dengan hal yang tidak-tidak,” kata Mom. “Dia mengira mesti menirumu.” “Itu karena dia tolol,” gerutuku. Tak ada yang percaya padaku, dan itu gara-gara Billie. “Ambilkan salad-nya,” kata Dad. “Tapi aku melihat makhluk itu,” protesku. “Ya. Kemarikan salad-nya," ulang Dad. Begitulah Dad kalau sudah tidak mau bicara tentang topik tertentu. Ia akan berkata, “Kemarikan salad-nya." Itu berarti “tutup mulutmu”. Aku menggerutu dan mengambilkan mangkuk salad. Orangtuaku sangat ketat menjaga kesehatan dan kami banyak disuruh makan salad. “Apa sih pekerjaan Mr. Fleshman?” tanya Mom pada Dad. Dad mengambil sejumput besar selada. “Entah ya,” sahutnya. “Dia tidak terlalu ramah. Aku baru satu kali bicara dengannya. Kelihatannya dia agak aneh. Dia..” “Agak aneh?” selaku. “Dia seratus persen aneh.” Billie tertawa. Dagunya berlepotan spageti. Dad tidak mengacuhkanku. “Kurasa Mr. Fleshman cuma pemalu,” katanya. “Menurutku dia tidak apa-apa.” Mom meremas lenganku. “Jangan mengintai dia lagi, Jack. Tidak bagus mengintai tetangga. Oke? Janji?” “Tidak masalah,” sahutku. Tapi aku tidak akan berhenti mengintai... sampai aku tahu persis tentang makhluk yang kulihat dan tentang Mr. Fleshman. Sesudah makan malam, Mom dan Dad pergi ke bioskop. Billie pergi ke rumah temannya. Aku punya tugas membaca dan sekolah, tapi aku tak bisa berhenti memikirkan Mr. Fleshman dan makhluk yang kulihat itu. Aku mesti menyelinap masuk ke rumah itu, pikirku. Tapi bagaimana caranya? Mendadak sebuah gagasan muncul di kepalaku. Aku akan pergi ke sana untuk meminta bola tadi. Bagus! Aku bergegas turun, dua anak tangga sekali langkah. Aku menuju pekarangan belakang, masuk lewat lubang di pagar, dan mendekati beranda belakang Mr. Fleshmah. Lampu-lampu dapur menyala dan aku bisa melihat cahaya di jendela-jendela belakang lainnya. Dia pasti ada di rumah, pikirku. Aku menarik napas panjang, berdeham, lalu mengetuk pintu belakang. Aku menunggu sebentar, memasang telinga untuk menangkap langkah-langkah kaki Mr. Fleshman. Mungkin dia ada di depan dan tidak mendengarku, pikirku. Aku mencari-cari bel pintu. Tidak ada bel. Jadi, aku berniat mengetuk pintu lagi. Tapi gerakanku terhenti ketika terdengar geraman pelan dari dalam rumah. Suara apa itu? Geraman anjing? Tidak. Mr. Fleshman tidak punya anjing. Suara geraman berikutnya membuatku terlompat mundur hingga nyaris jatuh. Bagian atas pintu itu berupa jendela. Kutempelkan wajahku di kacanya dan melongok ke dalam. Tidak ada orang di dapur. Di tembok seberang sana kulihat ada pintu yang menuju lorong. Aku menyipitkan mata, memusatkan pandangan pada pintu itu. Terdengar suara BUK. Lalu erangan. Mr. Fleshman! Ia terhuyung mundur ke tembok dengan kedua lengan terentang. Mulutnya terbuka, - mengeluarkan jeritan tertahan. Ada apa? Apa dia berkelahi dengan seseorang? Jantungku berdebar kencang sementara aku terus melihat dan jendela. Terdengar bunyi BUK lagi. Sebuah sosok raksasa berjalan terhuyung-huyung ke lorong... dan mencengkeram leher Mr. Fleshman. Makhluk itu! 4 "OHHH!” Aku terpekik ngeri. Makhluk itu... dagingnya yang kelabu dan membusuk lepas sedikit demi sedikit dan tubuhnya. Matanya yang hanya satu bergoyang-goyang di depan hidungnya yang panjang. Dia itu manusia atau binatang? Gerakannya seperti manusia, tapi kepalanya remuk. Remuk. Remuk... Perutku bergolak. Aku mual. Kututupi mulutku dengan tangan. Makhluk itu menganga dan tampaklah barisan gigi yang rusak dan tidak rata. Ia menggeram keras dan mendorong Mr. Fleshman lagi ke tembok. Mr Fleshman menghantam tembok dan merosot ke lantai. Makhluk itu berdiri di atasnya dengan menyeringai, kulitnya lepas sedikit demi sedikit dari tulang-tulangnya. “Bangun! Bangun!” teriakku tanpa sadar “Aduh, bangunlah!” Perutku bergolak lagi. Kutekankan wajahku lebih keras ke jendela. Mr. Fleshman bangkit dengan gemetar. Ia tampak bingung. Dengan limbung ia mengulurkan lengan dan meraih pinggang makhluk itu. Makhluk itu menengadah dan melolong keras saat Mr. Fleshman mendorongnya ke lantai. Mereka bergulat, lepas dari jangkauan pandanganku. Aku mundur dengan kaki gemetar hebat, hingga nyaris tak bisa berdiri. “Aku mesti berbuat apa?” seruku keras-keras. Aku mengintip lagi ke dalam rumah. Aku tak bisa melihat mereka. Hening. “Aku mesti bagaimana?” Mesti mencari bantuan. Aku berbalik dan tergopoh-gopoh menuruni undakan beranda. Aku lari ke rumahku. Tapi tak ada orang di rumah. Tak ada yang bisa dimintai bantuan. Aku akan telepon polisi, pikirku. Aku menoleh kembali ke rumah Mr. Fleshman. Cahaya memancar dan semua jendelanya. Aku tak bisa melihat tetanggaku itu di sana, juga monster itu. Keringat membasahi dahiku, turun ke pipi. Aku menerobos lubang di pagar dan lan secepat mungkin, masuk ke rumahku sendiri dan pintu belakang. Telepon polisi! Telepon polisi! Aku hendak menyambar telepon di meja dapur Tapi sebelum telepon kuambil, pesawat itu berdering “Hah?” Aku terperanjat dan mendekatkan gagang telepcin ke telingaku. “Jack,” kata sebuah suara serak sebelum aku sempat bicara apa pun. “Jack aku si monster. Aku tahu kau melihatku. Sekarang aku terpaksa mendatangimu DAN MEMBUNUHMU!” 5 "HAH?” Telepon itu lepas dari tanganku, menghantam meja, dan jatuh ke lantai. Aku menyambarnya dan memeriksanya, kalau-kalau rusak, lalu aku kembali mendengarkan. “Si... siapa ini?” tanyaku gugup. Hening. Makhluk itu. Dia bisa bicara? Lalu terdengar tawa cekikikan. Tawa anak perempuan. Seseorang bernapas di telepon. “Siapa ini?” teriakku. “Takut ya?” terdengar jawaban. “Derek! Ini kau ya?” Derek tertawa. “Aku akan mendatangimu, Jack,” bisiknya. “Aku ada di seberang jalan.” “Jangan telepon-telepon lagi!” teriakku. “Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda! Derek...” “Kami membuatmu takut ya?” Aku mengenali suara Maddy. “Aku ada hal lain yang lebih menakutkan,” kataku “Maddy... bisakah kau..." “Marsha juga ada di sini,” sela Maddy. “Dan Henry. Kau bicara di telepon speaker, Jack. Kami mendengarmu kaget ketika Derek berkata...” “Kau bisa kemari?” seruku. “Aku agak takut saat ini. Aku sendirian di sini, Maddy. Kau bisa datang, tidak?” Maddy terkikik. “Memangnya kenapa?” “Aku melihat monster itu,” kataku. "Aku melihatnya. Di rumah Mr. Fleshman. Mereka bergulat, dan... dan makhluk itu membunuh Mr. Fleshman.” Kudengar mereka semua tertawa. “Cerita bagus, Jack,” kata Henry. “Kami tidak bodoh,” kata Derek. “Kalau mau menipu kami, cari cerita lain.” “Sudahlah, Jack,” kudengar Marsha menggerutu. “Tidak!” protesku. “Ini bukan lelucon. Aku melihat mereka berkelahi. Sangat... sangat mengerikan.” “Oooh! Aku juga takut. Takut!” seru Henry. “Tutup teleponnya!” teriakku. “Kalau kau tidak mau datang untuk membantuku, tutup teleponnya. Aku mesti menghubungi polisi.” “Hubungi nomor Bantuan Menghadapi Monster,” gurau Derek. Kubanting telepon itu. Apa mereka tidak sadar bahwa ini keadaan darurat? Kadang-kadang teman-temanku menyebalkan. Tanganku gemetar ketika mengangkat telepon lagi: Kupencet nomor darurat 911. Berdering satu kali. Apa yang akan kukatakan pada pobsi? Kalau ku katakan bahwa aku melihat monster di rumah sebelah, mereka tak mungkin mau percaya. Kukatakan saja ada yang berkelahi, pikirku Aku tidak akan menyebut-nyebut monster. Dering kedua. Bel pintu depan berbunyi. Kututup telepon dan aku berbalik terkejut. Siapa yang ada di luar itu? Pasti teman-temanku, pikirku. Mungkin mereka berubah pikiran. Mungkin mereka datang untuk membantuku. Bel pintu berdering lagi. “Sebentar!” teriakku. Aku lari sepanjang lorong, melewati ruang tamu. Kupegang tombol pintu dan hendak memutarnya. Tapi mendadak aku berhenti. Jangan buka pintu, sampai kau tahu siapa yang ada di luar, aku memperingatkan diriku sendiri. Kulepaskan tombol pintu. “Siapa itu?” tanyaku. Suaraku kecil dan pelan. Tidak ada jawaban. “Siapa itu?” ulangku sambil menempelkan telinga di pintu. Aku menjauh dari pintu dan lari ke jendela ruang tamu. Dalam kegelapan di luar sana kulihat sesosok tubuh jangkung berdiri di beranda. Mr. Fleshman. 6 AKU terpaku dengan wajah menempel di kaca jendela. Kulihat Mr. Fleshman mengulurkan tangan dan memencet bel lagi. Dia tidak apa-apa, pikirku. Dia pasti telah mengalahkan makhluk itu. Tapi kenapa dia ada di smi? Mau apa dia? Bel pintu berdering lagi, membuyarkan pikiranku. Aku kembali ke pintu, memasang rantainya, lalu membukanya sedikit. “Siapa?" tanyaku. “Mr. Fleshman. Tetangga sebelah,” sahutnya. Suaranya serak. “Eh orangtuaku... tidak di rumah,” kataku gugup. “Tidak apa-apa,” sahutnya pelan. “Aku ingin bicara denganmu.” “Tentang apa?” tanyaku cepat. Kuperiksa rantai pintu, untuk memastikan masih terpasang kuat. Lalu aku mengintip lewat celah di pintu. Rambut Mr. Fleshman yang keperakan bersinar dalam cahaya bulan. Wajahnya tampak tenang, hampir tanpa ekspresi. Tidak seperti orang yang baru berkelahi dengan monster. “Aku membawa bolamu,” katanya, hampir berbisik. Ia mengangkat bola karet itu dengan satu tangan dan menunjukkannya lewat celah di pintu. “Terima kasih,” kataku. Aku ingin meminta ia menaruh bola itu di beranda, lalu pergi, tapi tak mungkin aku melakukan itu. Mr. Fleshman mengangkat bola itu lagi. Apa boleh buat. Kulepaskan rantai pintu dan kubuka pintunya. “Terima kasih." kataku. Kuambil bola itu dari tangannya. Aku ingin langsung menutup pintu, supaya ia cepat pergi. Mr. Fleshman berdiri tegak sekali. Rambutnya yang keperakan membuat seluruh kepalanya seakan bersinar. Ia menyipitkan sepasang matanya yang aneh padaku. “Aku tahu kau dan teman-temanmu suka mengintaiku, Jack,” katanya. Ia bicara perlahan-lahan dan pelan sekali, hingga suaranya hampir tidak terdengar. Matanya yang kelabu menatap dingin dan tajam padaku." "Aku..." “Kuminta kalian berhenti melakukan itu,” katanya dengan gigi dikatupkan. “Hah?” Aku tersentak. Aku tidak tahu mesti berkata apa. “Tapi... aku melihat... sesuatu... di rumah Anda,” kataku akhirnya. “Aku tak peduli apa yang kaulihat,” bentak Mr. Fleshman. “Pekerjaanku sangat rahasia. Aku tak mau kau memata-mataiku.” “Sangat rahasia?” kataku nyaring. Ia tidak menjawab, cuma memandangiku dengan matanya yang dingin. Aku gemetar. Kami saling pandang... lama. “Kau mengerti, Jack?” kata Mr. Fleshman akhirnya. “Tidak boleh mengintai lagi.” Aku mengangguk. “Bagus,” bisiknya. “Kalau begitu, tidak ada masalah lagi antara kau dan aku.” Ia menunduk, mendekatkan wajahnya padaku. “Kau tidak ingin mendapat kesulitan, bukan?” bisiknya. Dia mengancamku, pikirku. Aku gemetar lagi. “Tidak, tidak mau,” kataku akhirnya. Mr. Fleshman mengangguk, matanya yang dingin serasa menusuk mataku. Lalu ia berbalik dan kembali ke rumahnya tanpa menoleh lagi. Aku menutup pintu dan menguncinya, lalu aku terpuruk lemas di anak tangga paling bawah. Kutunggu sampai napasku tenang kembali, lalu kusapukan tanganku yang dingin dan berkeringat di kaki celanaku. Aku tidak mungkin berhenti mengintai, pikirku. Aku tak punya pilihan. Aku mesti tahu rahasia Mr. Fleshman. Ia sedang melakukan sesuatu yang aneh di rumahnya. Sesuatu yang ingin disembunyikannya. Kalau saja orangtuaku ada di rumah. Tapi mereka pasti tak akan percaya padaku. Kalau kuceritakan apa yang kulihat, mereka pasti akan membela Mr. Fleshman. Mereka akan mendatanginya untuk minta maaf. Mereka akan menjanjikan pada Mr. Fleshman untuk melarangku dekat-dekat rumahnya lagi, lalu mereka akan menghukumku karena telah mengganggu tetangga. Orang dewasa selalu saling membela. Menjengkelkan sekali. Mr. Fleshman menyembunyikan monster di rumahnya. Monster yang aneh dan jahat. Dan hanya aku yang tahu tentang hal itu. Pikiran itu membuatku merinding. Hanya aku yang tahu.... Tapi Mom dan Dad tidak akan percaya padaku. Kecuali... kecuali aku punya bukti. Aku melompat bangkit. Ya, bukti. Kalau aku bisa menunjukkan bukti pada Mom dan Dad, mereka akan percaya. Mendadak aku merasa lebih baik. Aku telah membuat keputusan. Keputusan penting. Aku tahu apa yang mesti kulakukan. 7 AKAN kutunggu sampai Mr. Fleshman pergi, pikirku. Lalu aku akan menyelinap masuk ke rumahnya dan menyelidiki apa yang dilakukannya di sana. Keesokan sorenya aku berdiri di pekarangan belakang dengan teropongku, memeriksa langit. Hari itu cerah, tak berawan. Hari yang sempurna untuk mengintai Mr. Fleshman dan melihat komet itu. Heran, masa aku tidak melihatnya? Menurut berita di TV, komet itu cukup besar dan terang untuk kelihatan pada siang hari sekalipun. Para ilmuwan sedang mempelajarinya siang-malam. Tapi mereka belum tahu komet apakah itu. Sinar matahari memantul di lensa teropongku. Kuturunkan alat itu dan aku menggosok-gosok tengkukku. Leherku pegal karena terlalu lama menengadah ke langit. Setiap beberapa menit aku menoleh ke rumah Mr. Fleshman. Tidak ada yang mencurigakan di sana. Mobilnya ada di pekarangan, diparkir setengah di dalam dan setengah di luar garasi. Tapi aku tidak melihat orang itu... atau makhluk apapun. Sebersit cahaya keperakan melesat di langit. Kusambar teropongku dan kuarahkan ke sana. Hanya pesawat terbang rupanya. “Coba kulihat,” kata sebuah suara yang kukenal. “Ow!” Aku terpekik ketika Billie menarik teropongku keras-keras, hingga aku hampir jatuh. “Teropong ini kukalungkan di leherku!” teriakku. “Lepaskan dong!” Billie menarik lagi. “Sekarang giliranku.” “Pergi sana!” bentakku. “Tidak pakai giliran segala!” “Aku ngadu sama Mom!” teriak Billie. Apa dia tidak bosan mengadu terus? “Ambil teropongmu sendiri” kataku “Aku tidak bakal beranjak dari sini sampai aku melihat komet itu.” “Aku tidak butuh teropong konyolmu,” ejek Billie. “Aku sudah melihat komet itu. Malah aku melihatnya dua kali. Eh, tidak.., lima kali.” “Pergi!” gerutuku. Ternyata Billie pergi. Tapi di pintu dapur ia berhenti “Mestinya kau pakai teleskop, bukan teropong,” katanya. “Aku tidak punya teleskop” bentakku Ia tidak mendengar. Ia sudah membanting pintu dan masuk ke dalam rumah. Sebelum sempat mulai mencari komet lagi, kulihat Henry dan Derek menghampiriku dari samping rumah. Mereka mengenakan kaus putih tanpa lengan dan celana longgar di bawah lutut. "Mereka mencarimu, Manusia Piring Terbang," panggil Derek. “Apa?” sahutku. Derek menunjuk ke langit sambil nyengir. “Mereka mencarimu.” “Yeah, yang di atas sana itu bukan komet,” Henry menimpali. “Itu UFO Mereka mencarimu,. Manusia Piring Terbang. Mereka ingin menjemputmu pulang ke planet asalmu.” Mereka pikir ucapan mereka lucu barangkali? Mereka terkikik dan saling ber-high five. “Haha,” kataku sambil memutar-mutar bola mata. “Lucu sekali. Ingatkan aku supaya tertawa.” Aku menengadah ke langit. Dua ekor burung terbang tinggi di atas pepohonan limau di pekarangan belakang. “Ada apa?” tanyaku. “Kami sedang santai, sambil menunggu ayah Henry pulang,” sahut Derek. “Dia punya banyak tiket untuk nonton pertandingan Dodger dan dia akan mengajak kami. Mau ikut?” Aku menendang segumpal tanah “Tidak bisa,” kataku. “Aku mesti ikut orangtuaku ke rumah sepupuku.” “Di mana, Manusia Piring Terbang?” tanya Derek. "Di Mars atau Jupiter?” “Burbank,” sahutku. “Jangan panggil aku Manusia Piring Terbang lagi. Oke?” Henry ikut-ikutan menendang tanah “Minggu depan kita sekolah lagi. Kau mau ikut tes masuk tim renang?” Teropongku mulai terasa berat. Kulepaskan benda itu dari leherku dan kuletakkan di tanah. “Entah ya,” kataku. “Menurutmu bagaimana?" “Ikut saja. Kami membutuhkanmu dalam tim.”Henry nyengir lebar, lalu menambahkan, “Sebab kami jadi tampak hebat dengan adanya kau.” Lalu mereka tertawa. “Itulah masalahnya,” keluhku “Kalian jauh lebih hebat daripada aku. Aku tidak bakal bisa masuk tim." “Kami akan membantumu,” Derek menawarkan. “Yeah, nanti kami bawakan pelampung untuk kaupakai,” gurau Henry. “Jack!” Mom memanggil dan dalam rumah. “Ayo berangkat.” Henry dan Derek lansung minta diri. “Sayang kau tidak bisa ikut nonton,” kata Henry. Lalu mereka menghilang di samping rumah. “Nonton apa?” tanya Mom. “Tidak nonton apa-apa,” sahutku. Sejauh ini semuanya tidak menyenangkan. Tidak ada komet. Tidak bisa ikut nonton Dodger. Dan sekarang aku mesti ikut ke Burbank, mengunjungi sepupu-sepupuku yang jauh lebih tua, mereka suka mencubit pipiku dan mengatakan sekarang aku sudah besar sekali. Mom menggosokkan tangannya pada noda di kausku. “Kau mau pakai kaus itu, Jack? Tidak bisa. Ganti pakaianmu.” Aku ingin protes, tapi sebuah sosok bergerak di pekarangan sebelah dan menarik perhatianku. Mr. Fleshman! Mom juga melihatnya. Ia melambai pada laki-laki itu. “Ayo kita. menyapanya,” ajak Mom. “Tidak, Mom...” Aku hendak menahan ibuku. Tapi Mom sudah beranjak menghampiri Mr. Fleshman. Aku diam di tempat sejenak. Orang itu telah mengancamku. Ia berusaha membuatku takut. Mungkin Mom akan sadar betapa jahatnya dia. Aku bergegas menyusul Mom. Mr. Fleshman mengenakan kaus hitam dan celana pendek hitam, serta topi bisbol hitam di kepalanya. Mom sudah berkenalan dengan orang itu ketika aku tiba di sampingnya. “Jack sering bicara tentang Anda,” kata Mom. Wah! Wajahku merah padam. Kenapa Mom berkata begitu? Mr. Fleshman menatapku dengan mata kelabunya yang dingin. Bisa kulihat kemarahan dalam mata itu. Tapi ia tersenyum pada Mom. “Hari yang indah, bukan?” katanya cerah. “Apa Anda sedang melakukan eksperimen ilmiah atau semacamnya di rumah Anda?” tanya Mom. “Eksperimen ilmiah?” tanya Mr. Fleshman dengan suaranya yang seperti bisikan. Mom mengangguk. “Jack suka bercerita yang aneh-aneh. Katanya dia melihat monster di rumah Anda.” Mom tertawa Mr Fleshman ikut tertawa. Suara tawanya dingin dan datar, seperti suara orang batuk. Ia melirikku. Aku langsung merinding. “Tidak. Tidak ada monster di rumahku,” katanya “juga tidak ada eksperimen ilmiah.” Senyumnya memudar. “Mau tahu yang sebenarnya?” “Ya,” kata Mom “Aku ini makhluk asing dari planet lain,” kata Mr. Fleshman “Aku menyembunyikan teman-temanku di rumah, sementara kami menyusun rencana untuk mengambil alih dunia.” 8 "IA tidak bercanda!” Aku berseru dari kursi belakang mobil. Mom menoleh dari kursi penumpang di depan. “Dia cuma bercanda, Jack. Kau kenapa sih? Mr. Fleshman kelihatannya baik.” Aku mendesah dan memasang sabuk pengamanku. “Mom, dari mana Mom tahu dia cuma bercanda?” “Aku tidak mau membicarakan itu lagi, Jack,” sahut Mom tak sabar. "Aku tahu dia cuma bercanda, dan kau juga tahu itu.” “Jack tolol,” Billie ikut bicara “Jack makhluk planet.” “Jangan bilang aku tolol!” bentakku. “Hentikan... kalian berdua!” seru Dad. “Kalian lihat tidak kemacetan ini? Kita bakal lama dalam perjalanan, jadi jangan membuatku pusing!” Aku bersandar kembali di kursiku dan memejamkan mata. Oke, oke, aku tahu Mr. Fleshman cuma bercanda. Tapi aku juga tahu bahwa ia berbohong. Aku jelas-jelas melihat monster itu di dalam rumahnya. Aku bertekad akan mencari bukti. Aku akah menyelinap ke rumah itu dan mencari bukti. *** Sore yang kami lewatkan di rumah sepupu-sepupuku sangat membosankan dan tidak layak dibicarakan. Aku cuma ingin bilang bahwa dua sepupuku mencubit pipiku keras sekali, sampai wajahku bengkak. Mungkin bengkak ini baru akan hilang dalam beberapa hari. Malam itu Billie, Dad, dan aku nonton TV bersama-sama. Billie menonton film tentang alam binatang lagi. Aku sedang mencoba menunjukkan pada Dad cara memainkan game Mario di Gameboy, tapi Dad susah sekali mengikutiku. “Jari-jari tanganku terlalu besar untuk memencet tombol-tombol kecil ini,” keluhnya. “Makanya, belikan permainan Virtual Reality dong, Dad. Itu tuh, permainan alam khayal,” pintaku. Kudengar Mom tertawa dari ruang tamu. “Jack, sekarang pun kau sudah hidup di alam khayal, kan?” katanya. Aku hendak menjawab, tapi kemudian tertarik pada Buletin Khusus di TV. Dad ikut menatap ke layar. “Para ilmuwan NASA masih belum bisa mengidentifikasikan benda besar yang mengitari bumi,” kata si pembaca berita. Di layar tampak foto sebuah gumpalan bundar bersinar-sinar. Si pembaca berita melanjutkan, “NASA belum herhasil mengidentifikasikan objek tersebut, tapi benda itu diduga sebuah meteor besar.” “Wow!” seru Dad sambil mendekatkan kursi ke TV. “Lihat itu Menakjubkan sekali.” “Meteor raksasa itu tampaknya pecah di dalam atmosfer kita dan menyemburkan meteor-meteor yang lebih kecil,” kata si pembaca berita, Dalam foto di layar kulihat lingkaran-lingkaran gelap dan kecil berterbangan dari benda bundar raksasa itu. “Angkatan Udara Amerika Sêrikat memerintahkan pengawasan dua puluh empat jam di langit,” lanjut si pembaca berita. “Tapi mereka ingin meyakinkan pada penduduk bahwa berita burung tentang meteor itu tidaklah benar. Benda itu bukan, UFO..Para ilmuwan yakin benda itu adalah semacam karang atau mineral dari angkasa luar.” Aku melompat dan sofa. “Mereka bohong!” teriakku. “Aku tahu itu bukan meteor, tapi pesawat makhluk angkasa luar. Atau mungkin semacam senjata makhluk asing. Dan mereka menembaki kita.” “Jack, duduk!” bentak Dad “Jangan menakut-nakut adikmu.” Aku menoleh dan melihat Billie sudah pindah ke dekat jendela. Ia telah membuka semua kerai dan sedang memandang ke luar. “Oh, aku melihat meteorit!” serunya sambil menunjuk. “Aku melihatnya! Aku melihatnya!. TIDAAAK! Meteorit itu meluncur tepat ke rumah kita!” “Hah?” Aku menghampiri jendela. “Mana? Mana?”i “Aku melihat dua meteorit,” kata Billie. “Tidak deh... enam.” Aku menatap langit. Aku melihat bulan dan sejuta bintang yang berkelap-kelip. Hanya itu. “Duduk, BillIe,” bentak Dad. “Kau membuat takut kami semua. Itu tidak lucu.” Billie meleletkan lidah padaku. “Takut ya, Manusia Piring terbang?” katanya pelan, sehingga Dad tidak mendengar. Aku menggeleng marah padanya. Kenapa ya aku selalu terpancing dengan tingkah konyolnya? “Aku mesti menyelidiki ini,” seruku. Aku lari ke kamarku dan menyambar teropongku, lalu aku bergegas turun kembali. Waktu itu pengamatanku di pekarangan belakang tidak menghasilkan apa-apa. Malam ini aku akan mengamati di pekarangan depan saja. Saat melewati ruang TV, kulihat acaranya masih berita tentang meteor aneh itu. Billie duduk di antara Mom dan Dad di sofa. Ia tampak agak takut. Dad merangkulnya dan Mom memegang tangannya. Kadang-kadang, kalau sedang sangat marah, aku lupa bahwa ia cuma anak kecil. Ia suka pura-pura berani, tapi berita tentang meteor ini rupanya benar-benar membuatnya ketakutan. Di TV terdengar suara seorang ilmuwan berbicara tentang objek angkasa luar yang aneh itu. “Masyarakat tidak usah cemas,” katanya. “Tak ada alasan untuk panik.” "Sir,” kata seorang reporter, “menurut Anda, apakah benda angkasa luar ini akan terus mengikuti kita mulai saat ini? Seperti bulan, misalnya?” "Kami belum bisa memastikan pada tahap ini,” sahut si ilmuwan. “Bahkan membuat dugaan pun kami belum bisa.” Jawabannya tidak memuaskan, pikirku. Apa pemerintah merahasiakan sesuatu? Kubuka pintu depan dan aku bergegas keluar. Malam itu hangat dan terang. Barisan pohon palem yang tinggi di sudut pekarangan berderit dan membungkuk diembus angin hangat. Sebentuk bulan pucat mengambang di langit yang penuh bintang. Kudengar anak-anak tertawa dan saling bersimburan air di kolam renang di belakang rumah keluarga Arthur di seberang jalan. Sebuah minivan melaju dengan papan selancar diikatkan di atapnya; suara musik country terdengar keras dari jendela-jendelanya. “Meteor, di mana kau?” gumamku. Kuangkat teropongku dan mulai memeriksa langit. Tak lama kemudian aku berhenti. Mendadak aku merasa bahwa aku tidak sendirian. Ada seseorang mengawasiku. Kuturunkan teropongku dan aku membalikkan tubuh. Kulihat Mr. Fleshman berdiri di pekarangan depannya. Karena pakaiannya serba hitam, ia sulit dilihat pada malam hari. Ia juga sedang meneropong ke langit. “Mencari komet?” tanya Mr. Fleshman. Ia, tidak menoleh ke arahku, tatapannya tetap terarah pada bintang-bintang “Aku sedang menunggu teman-temanku mendarat,” katanya. Aku tertawa “Anda bergurau, kan?” “Bergurau?” sahutnya. Ia menurunkan teropongnya. Dan menoleh ke arahku. Aku terpekik melihat sepasang bola matanya mencuat keluar dari rongga matanya. 9 BOLA mata itu bergoyang-goyang dalam kegelapan. Mr. Fleshman tertawa terbahak-bahak. Aku merinding. Tapi juga merasa sangat malu. Kenapa aku menjerit seperti itu? Kenapa aku bisa tertipu oleh trik kuno begitu? Bola mata plastik dengan pegas panjang yang dipasang di kerangka kacamata bohongan. Mudah sekali. Masih tertawa kecil, Mr. Fleshman melepaskan kacamatanya dan mengulurkannya padaku. “Mau coba?” “Eh... tidak,” kataku. Aku merasa bodoh sekali karena menjerit-jerit. "Ini buatanku sendiri,” kata Mr. Fleshman, masih sambil mengulurkan benda itu padaku. “Kelihatannva seperti sungguhan ya?” “Ya,” sahutku. Kenapa ia menggodaku begini? Apa ia sudah menungguku di sini? Apa mendadak ia ingin ramah padaku? Atau ia ingin menakut-nakutiku? “Anda sudah melihat meteor itu?” tanyaku sambil menatap langit. Mr. Fleshman menggeleng. Ia melintasi lapangan dan berhenti di dekatku. “Kurasa dia tidak berada dalam belahan bumi kita saat ini,” katanya. “Kurasa dia tidak akan mengorbit di atas kita sampai besok.” “Menurut Anda, benda itu komet atau meteor? Atau lainnya?” tanyaku. Ia tidak menjawab. Ia mengamatiku dengan sepasang matanya yang kelabu. “Adikku Billie jadi ketakutan,” kataku. “Dia mengira benda itu pesawat angkasa luar atau semacamnya.” Mendadak mulutku terasa kering. Kusadari bahwa aku bicara dengan cepat karena merasa gugup. Mr. Fleshman tidak mengatakan apa-apa. Senyumnya memudar ketika matanya bertemu dengan mataku. “Kau banyak bicara dengan ibumu, bukan, Jack?” tanyanya. Suaranya yang dingin dan serak membuatku merinding. “Apa?” tanyaku. "Kau banyak menceritakan ini-itu pada ibumu,” kata Mr. Fleshman. Ia mendekatkan tubuh padaku. Sosoknya begitu jangkung dan matanya begitu dingin... jahat. "Aku.. Aku..." “Kau banyak bercerita tentang aku pada ibumu, bukan?” tanyanya mendesak. Aku menarik napas panjang. “Aku... aku sudah bilang pada Anda,” kataku terbata-bata. “Aku melihat suatu makhluk di rumah Anda. Aku melihat kalian berkelahi. Aku...” Mr. Fleshman merunduk di atasku. Dalam cahaya bulan, rambutnya yang keperakan bersinar-sinar. Ia mengatupkan rahang dan sisi lehernya berdenyut-denyut. "Aku... tidak... suka... orang... bercerita... ini-itu... tentang... diriku, Jack,” katanya perlahan-lahan dengan geram. “Aku... sama... sekali... tidak... suka.” Aku hendak menjawab, tapi yang keluar cuma erangan ketakutan. Jantungku berdebar keras dan lututku lemas. Rasanya seperti mau pingsan. Tapi aku masih bisa berdiri. “Maaf,” kataku. Lalu aku berbalik dan berlari ke rumahku. "Ini peringatan terakhir, Jack,” seru Mr. Fleshman. "Ya, peringatan terakhir untukmu.” Aku langsung masuk ke rumah dan membanting pintu keras-keras. Aku berdiri gemetar di lorong depan, berusaha mengatur napas. Dia tak boleh menakut-nakuti aku begitu, pikirku. Dia menyembunyikan sesuatu di rumahnya, dan aku akan menyelidikinya. Aku akan memperoleh bukti. Dia takkan bisa menakut-nakutiku. *** Keesokan paginya aku menepati janjiku sendiri. Keesokan paginya aku menyelinap masuk ke rumah orang itu. Dan mendapatkan bukti yang kucari-cari. 10 CAHAYA matahari pagi masuk melalui jendela dapur. Burung-burung berkicau dan pepohonan limau di pekarangan belakang. Aku duduk di depan meja dapur, menikmati sarapanku. “Kenapa kau makan begitu cepat?” tanya Mom. “Aku selalu cepat kalau makan sereal,” sahutku. “Aku tidak mau serealku jadi dingin.” Mom membelai rambutku. “Benar,” katanya. Ia menuang kopi untuk dirinya sendiri. Kuangkat mangkuk sarapanku dan kuhirup sisa susu yang ada. Lalu aku bergegas keluar untuk melihat, kalau-kalau ada meteor. Matahari cerah sekali, seluruh pekarangan berseri-seri. Aku menengadah ke langit. Gumpalan-gumpalan awan putih-berarak di langit. Apa itu... titik putih itu? Sebuah titik putih pucat yang melayang rendah di bawah awan-awan. Apakah itu? Meteorkah? “Wow” Aku berseru senang. Aku mesti mengambil teropongku. Akhirnya! Meteor itu tampak juga. Aku tak bisa melepaskan pandangan. Aku terus melihat ke atas, ke titik putih kecil yang bergerak perlahan itu. Bisakah aku melihatnya lebih jelas dengan teropong? Aku hendak masuk ke rumah, tapi kemudian aku menangkap gerakan di jendela dapur Mr. Fleshman. Aku terkesiap. Aku melihat wajah yang remuk itu dan matanya yang tergantung-gantung. Makhluk itu! Aku menajamkan pandangan ke jendela, menudungi mataku dengan satu tangan. Aku maju beberapa langkah ke pagar. Makhluk itu tidak bergerak. Pantulan sinar matahari di kaca jendela membuatku sulit melihat dengan jelas. Akhirnya aku menyelinap lewat lubang di pagar, masuk ke pekarangan Mr. Fleshman. Aku melihat ke jendela lagi. Makhluk itu sudah tidak ada. Apa tadi dia memang ada di situ? Atau penglihatanku keliru? Pintu garasi terbuka. Di dalam kosong. Mobil hitam tetanggaku tidak ada. Kulihat koran pagi tergeletak di dekat jalan. Biasanya Mr. Fleshman selalu langsung mengambil korannya setiap pagi. Dia sedang pergi, pikirku. Kesempatan bagiku! Tapi beranikah aku? Mungkin. Aku mulai berdebar-debar. Aku mengintip dan jendela di atas pintu. Tak ada siapa-siapa di dapur. Tak ada manusia. Tak ada makhluk apa pun. Perlukah aku mengetuk? Kalau Mr. Fleshman ada di rumah dan dia membuka pintu, aku mesti bilang apa? Aku akan bilang aku menyesal telah mengintai dia, pikirku. Kuketuk pintu dapur dalam tiga ketukan keras. “Permisi!” seruku. Tak ada yang menjawab. Aku memegang tombol pintu. Dia tidak di rumah, pikirku. Jadi, aku mau masuk. Pintu itu dikunci, tapi jendela dapur tidak. Aku naik lewat tepi jendela dan masuk ke dalam. Aku mengendap-endap ke dapur. Baunya agak pedas. Kuperiksa meja dan tempat cuci piring. Tidak ada bekas-bekas sarapan. Semuanya bersih dan rapi. Mr. Fleshman pasti pergi semalam, pikirku. Aku menarik napas panjang dan menuju lorong belakang. Apa benar aku sedang memasuki rumah orang lain tanpa izin? pikirku. Tapi sudah terlambat untuk mundur. Aku sudah telanjur berada di sini. Aku melangkah pelan-pelan ke lorong. “Eeh... permisiii!” kataku pelan. “Mr. Fleshman?” Tidak ada jawaban. Sinar matahari hanya bisa mencapai dapur. Lorong panjang ini remang-remang. Aku maju beberapa langkah dengan mata jelalatan. Sepasang mata besar melotot padaku dan tembok. Aku berhenti dan balas menatap. Sebuah poster film yang besar. Judulnya ditulis dalam tinta merah menyala. MATA SANG MONSTER. TATAP MATANYA DAN KAU AKAN MATI SERIBU KALI. “Wah!” gumamku. Dinding penuh dengan poster film lama. TARING SANG HANTU, begitulah bunyi poster berikutnya. Di seberang lorong, sebuah mumi compang-camping mengulurkan tangannya yang sudah setengah membusuk ke arahku. CENGKERAMAN SANG MUMI. “Hebat!” gumamku. Mr. Fleshman mempunyai koleksi poster film horor yang asyik-asyik. Semuanya dibingkai dan dipasang berderet di lorong panjang ini. Dari mana ia memperoleh poster-poster ini? Aku suka sekali film horor, tapi aku belum pernah mendengar tentang film-film ini. PEMBALASAN WANITA LINTAH... KLONG SI RAJA VAMPIR... Aku asyik sekali memandangi poster-poster itu, sampai-sampai tidak melihat meja kecil yang disandarkan di dinding. Aku menabraknya dengan keras. “Aduh!” teriakku; kakiku sakit sekali. Aku hampir jatuh. Cepat-cepat aku berpegangan ke tembok. Sebuah buku besar jatuh dan meja dan terbanting keras ke lantai. Aku mengatur napas sebentar, juga menunggu lututku berhenti gemetar. Lalu aku membungkuk untuk mengambil buku itu. Ternyata itu bukan buku, melainkan album foto. Halaman-halamannya terbuka. Aku berlutut dan memandangi foto-foto berwarna di dalamnya. “Hah!” Aku terperanjat. “Aneh sekali,” gumamku. Foto-foto itu... semuanya menampilkan makhluk-makhluk hijau yang jelek. Makhluk-makhluk itu seperti manusia, dengan kepala hijau mengilap yang sangat halus, mata hitam oval, seperti buah badan besar yang hitam, dan sepasang lubang hidung di bagian tengah kepala mereka, tepat di bawah mata. Tidak ada hidung, hanya lubang hidung. Lengan mereka yang hijau panjang lebih mirip sulur tanaman, dengan tangan berjari tiga. “Makhluk apa ini?” gumamku. Kubolak-balik album foto itu. Semuanya berisi foto-foto makhluk tersebut. Apakah mereka ini model? pikirku. Apa mereka semacam boneka? Masing-masing makhluk agak berbeda. Semuanya ramping, mengilap, dan hijau, tapi ada yang tinggi dan ada yang pendek. Ada yang matanya lebih besar, lebih kecil, dan lubang hidungnya pun tidak sama ukurannya. Salah satu makhluk memiliki semacam tongkat-tongkat berwarna jingga yang mencuat di puncak kepalanya. Apakah itu model rambutnya? Makhluk lain memiliki tongkat-tongkat yang mencuat dari tempat dagunya semestinya berada. Aneh pikirku sambil terus melihat-lihat isi album itu. Makhluk apa ini? Apa mereka nyata dan benar-benar hidup? Inilah bukti yang kuperlukan? Kalau aku membawa ini kepada orangtuaku, apa mereka akan percaya tentang keanehan Mr. Fleshman? Kututup album itu dan kubawa. Ini bukan mencuri, pikirku. Aku cuma meminjam sebentar. Nanti akan kukembalikan album ini, setelah aku membuktikan pada Mom dan Dad bahwa Mr. Fleshman memang aneh, dan bahwa ia melakukan sesuatu yang sangat aneh di rumahnya. Aku hendak berbalik kembali ke dapur, tapi mataku menangkap sinar yang memancar dari sebuah ruangan di seberang lorong. Aku melongok ke ruangan itu... dan terpekik kaget. Album foto itu terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai. Aku terbelalak menatap kotak hitam panjang di tengah ruangan itu. Sebuah peti mati. Aku sudah sering melihat peti mati dalam film-film horor, tapi belum pernah aku melihat peti mati sungguhan. Kayunya yang hitam mengilap bersinar kelabu. Peti itu tertutup. Dua pegangannya yang terbuat dari kuningan bersinar temaram di samping-sampingnya. Aku melayangkan pandang dengan cepat di ruangan kecil itu. Jendela ditutupi tirai-tirai berwarna gelap. Sebuah lemari kayu yang tinggi bersandar di salah satu dinding. Di sampingnya ada kursi kayu bersandaran lurus. Tidak ada perabotan lain. Hanya ada peti mati hitam panjang itu di tengah ruangan. Aku maju beberapa langkah. Kayu peti itu begitu mengilap, sampai-sampai aku bisa melihat pantulan diriku di sampingnya “Hah?” Aku berhenti ketika mendengar suara derit pelan. Apakah itu suara pintu yang dibuka? Atau langkah kaki? Suara itu terdengar lagi. KREEEAK. KREEEAK. Aku terpaku. Jantungku serasa berhenti berdebar. Tutup peti mati itu... terbuka. 11 “TIIDAAAK!” Aku menjerit serak. Tanpa menungu siapa - atau apa - yang keluar dari peti mati itu, aku langsung kabur dan membanting pintu keras-keras. Aku lari di lorong, melewati deretan poster, masuk ke ruangan lain. Bukan dapur. Aku salah lari. Rupanya aku masuk ke dalam semacam bengkel kerja atau laboratorium. Di antara bunyi napasku yang terengah-engah kudengar suara geleguk. Ada sebuah meja panjang dengan tabung-tabung percobaan. Di langit-langit yang rendah ada rangkaian kabel dan tabung lagi. Di dinding berderet peralatan listrik yang aneh. Cahaya merah-biru berkedap-kedip. Dalam sebuah wadah gelas tampak cairan biru yang menggeleguk dan tumpah keluar. Peralatan apa ini? pikirku sambil menoleh ke sana kemari, berusaha memahami semua ini. Apa yang dilakukan Mr. Fleshman di sini? Kalau dia pergi, kenapa dia tidak mematikan peralatan ini? Kenapa semua dibiarkan menyala? Aku tidak punya, waktu untuk memikirkan jawabannya. Terdengar suara mendesis, seperti bunyi ban kempes. Udara dingin menerpaku. Ketika menoleh ke arah suara itu, kulihat sebentuk kabut tebal naik dan balik meja lab. Seperti awan, kabut itu melayang masuk ke dalam ruangan. Sambil melayang, kabut itu mulai berubah bentuk. Ada kepala yang tampak di atas sepasang bahu putih empuk. Kepala itu melipat. Bergerak. Melipat lagi. Aku melihat sepasang mata kelabu. Dan mulut samar-samar. Mulut itu membuka dan mengeluarkan erangan mengerikan. Antara suara manusia dan bukan manusia. “Ooooooh!” Sosok itu melayang lebih tinggi. Semakin besar saat melayang ke arahku. Itu hantu! Hantu sungguhan! Sosok berkabut itu melayang di atasku. Menebar, menggelap. Semakin gelap. Menutupiku dengan hawanya yang dingin membekukan. 12 "OOOH!” Terdengar lagi erangan pelan yang seram itu, menggema di sekelilingku. Hantu itu bergulung di atasku. Aku menjerit ngeri. Hantu itu mengitariku seperti gumpalan kabut dingin. Berpusar dan berpusar. Hidup. Sambil mendesah keras aku merunduk di bawahnya. Lalu aku menyerbu maju, menghantam meja lab. Beberapa tabung jatuh dan cairan biru kental tumpah ke lantai. Aku berputar ke arah pintu Dan terhuyung-huyung ke lorong. Di sini gelap dan sunyi. Di ruangan di belakangku terdengar erangan pelan hantu tadi. “Apa yang terjadi di sini?” teriakku keras-keras. Aku terhuyung mundur ketika sebuah sosok muncul di ujung lorong. Makhluk itu! Ia berbalik ke arahku, merundukkan bahunya yang membusuk, dan menggeram sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang jelek, seolah ia mengenaliku. Ia maju dengan langkah berat ke arahku. Terus maju. Aku terkesiap ngeri ketika melihat dagingnya memuakkan dan terus berjatuhan, matanya yang tergantung-gantung, serta giginya yang rusak dan kuning di wajahnya yang hijau remuk. Makhluk itu menggeram lagi dan menyentakkan mulutnya dengan lapar. Wah! Dugaanku tentang Mr. Fleshman rupanya benar. Aku sudah tahu, ada sesuatu yang mengerikan di rumah ini. Kenapa tidak ada yang percaya padaku? Sekarang sudah terlambat. Terlambat... Kecuali kalau aku menemukan jalan keluar. BUK... BUK... Makhluk itu maju dengan langkah berat ke arahku. Aku mundur kembali ke lab. Aku tak bisa ke mana-mana lagi. Dengan panik aku melayangkan pandang di ruangan menakutkan itu, mencari-cari senjata. Sesuatu untuk dilemparkan pada makhluk itu. Sesuatu yang bisa menghambatnya, supaya aku bisa kabur. Kabur... Kusambar benda pertama yang bisa kutemukan. Sebuah benda kecil berbentuk persegi, dari logam. Akan kulempar kepala makhluk itu. Kupegang benda itu erat-erat di tanganku. Kakiku gemetar. BUK.. Seluruh tubuhku gemetar mendengar langkah makhluk itu semakin mendekat. Lempar kepalanya, lalu lari, pikirku. Lari ke luar lewat dapur. Pulang! Pulang! Pulang! Kupaksakan diriku keluar ke lorong. Makhluk raksasa itu berdiri beberapa meter jauhnya, menghalangi jalanku. Matanya tergantung-gantung. Ia mengeluarkan erangan rendah dan maju dengan langkah berat, semakin dekat. Kuangkat benda logam di tanganku, siap-siap melempar. Tapi sebuah tangan menyentuh bahuku. Aku menjerit dan membalikkan tubuh. Dan bertatapan dengan Mr. Fleshman yang tersenyum lebar. “Kau sudah kuperingatkan, Jack,” bisiknya. “Mestinya kau mendengarkan.” 13 CENGKERAMAN tangannya di bahuku semakin erat. “Aku... aku... aku... ,“ aku terbata-bata. Senyum Mr. Fleshman semakin lebar “Jack, kau gemetar,” katanya. “Maaf,” sahutku. “Aku tidak tahu. Maksudku, aku tidak melihat apa-apa Sungguh. Aku tidak akan bilang pada siapa pun. Tolong...” Ia tersenyum mengejek. “Swear (Sumpah)!” seruku. “Tolong lepaskan aku. Aku tidak akan bilang-bilang tentang apa yang kulihat.” “Yah, mudah-mudahan memang tidak." kata Mt Fleshman sambil melepaskan bahuku. “Sebab kalau kau buka mulut, aku bisa kehilangan pekerjaan.” “Hah? Pekerjaan?” Aku terheran-heran. Aku bersandar di dinding, berusaha menghentikan gemetar di kakiku. Mr. Fleshman mengangguk. “Aku merancang efek khusus,” ia menjelaskan. “Untuk film-film horor.” Aku terperangah dan tak sanggup berbicara. Mr. Fleshman menaruh satu tangannya di bahu makhluk hijau itu, “Kau suka dia? Namanya Cutey. Dia lucu, ya?” Ia mencubit hidung panjang makhluk itu. “Anda... Anda yang membuatnya?” tanyaku terbata-bata. Mr. Fleshman mengangguk lagi. “Ya. Dia digerakkan dengan remote.” Ia menunjukkan sebuah remote control kecil, seperti remote TV. Ketika ia menekan tombol, hidung makhluk itu membuka dan menutup. Ia menekan tombol kiri dan mata makhluk itu berkedip. "Wow! Hebat!” seruku. Aku mulai merasa lebih tenang. Rasanya aku perlu minta maaf pada Mr. Fleshman. “Maaf aku masuk tanpa izin ke rumah Anda,” kataku. Mr. Fleshman mengangkat tangan, “Tak perlu minta maaf,” katanya. “Aku sengaja menjebakmu kemari. Kutaruh Cutey di jendela dapur untuk menarik perhatianmu. Aku melihatmu datang, dan aku sengaja menunggu.” "Tapi... kenapa?” tanyaku. “Mula-mula Anda berusaha menakut-nakutiku, lalu...” "Pekerjaanku sangat rahasia,” kata Mr. Fleshman sambil bersandar pada Cutey. “Kucoba membuatmu berhenti mengintaiku, tapi kulihat kau masih penasaran. Jadi, aku memutuskan untuk menakut-nakutimu saja.” "Yah, aku memang ketakutan,” aku mengakui. "Kau suka efek hantu buatanku?” tanya Mr. Fleshman. Ia mengajakku kembali ke lab. “Bagaimana Anda membuat kabut itu bisa bergerak?” tanyaku. “Itu cuma tampilan gambar. Lihat...” Ia mengeluarkan sebuah kotak elektronik yang mirip VCR. Ketika ia menekan tombol, cahaya memancar dan sebuah lensa kecil. “Aku menampilkan hantu itu di seluruh ruangan,” ia menjelaskan. Kulihat kabut itu mulai terbentuk lagi. Kelihatannya seperti sungguhan. “Sebenarnya tekniknya sederhana sekali. Semua yang kaulihat, Jack, hanyalah efek khusus. Tapi aku tidak mau ada orang yang mengintaiku dan mempelajari trik-trikku.” Aku minta maaf lagi. Lalu giliran Mr. Fleshman minta maaf padaku. “Mudah-mudahan aku tidak keterlaluan menakut-nakutimu. Kadang-kadang aku suka keasyikan sendiri.” Ia tertawa. “Menurut dugaanmu, apa yang terjadi di sini?” “Aku belum yakin betul,” kataku. “Aku melihat Anda berkelahi dengan Cutey dan...” “Aku sedang mengujinya,” kata Mr. Fleshman. “Aku tidak akan cerita pada siapa pun,” aku berjanji. Kuikuti dia ke pintu dapur. Aku sudah hendak keluar, tapi kemudian aku teringat sesuatu. “Album foto itu,” kataku. Mr. Fleshman menyipitkan sepasang matanya yang kelabu. “Kenapa?” “Aku melihat album foto itu,” kataku. “Isinya, foto-foto makhluk berwarna hijau. Apa itu sebenarnya?" Mr. Fleshman mendesah. “Itu model makhluk buatanku untuk sebuah film. Ratusan jumlahnya. Sialnya filmnya tidak jadi beredar.” "Anda masih memiliki model-model itu?” tanyaku. Mr. Fleshman menggeleng. “Tidak. Semuanya diambil oleh studio film yang memesan, tapi kemudian studio itu bangkrut.” Aku melangkah ke luar. “Terima kasih atas penjelasan Anda,” kataku. “Aku janji tidak akan pernah mengintai Anda lagi, Mr. Fleshman.” Ia tertawa. “Mungkin aku akan menggunakanmu sebagai bahan uji, Jack. Untuk mencobakan beberapa kreasi baruku.” "Wow, pasti seram sekali,” seruku. Aku berpamitan lalu bergegas pulang. Aku tak sabar ingin mengatakan pada Mom dan Dad, bahwa selama ini aku salah duga tentang Mr. Fleshman. Bahwa sebenarnya ia orang yang baik. Aku tahu orangtuaku pasti akan berkata, “Benar kan?" Biarlah. Aku merasa sangat lega dan senang karena sudah tahu yang sebenarnya tentang tetanggaku dan apa yang terjadi di rumahnya. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa bagian yang paling menakutkan dalam hidupku justru baru dimulai. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 14 "AH, Mom senang kau berhasil memecahkan misteri itu,” kata Mom saat makan malam. Ia mengedarkan piring ayam goreng. Makanan kesukaanku. “Jadi, Mr. Fleshman bekerja di bidang film horor?” “Aku tahu,” Billie menimpali. Dagunya berlepotan kentang lumat. “Aku sudah tahu soal efek khusus.” “Bohong!” bentakku. “Aku tahu!” “Bohong! Tak mungkin!” “Bisa tidak kita makan dengan tenang?” keluh Dad. Ia menyuruh Billie membersihkan dagunya, lalu ia mengambil sejumput kentang lumat dan menoleh padaku. “Jadi, misterinya sudah terungkap?, Tidak ada cerita konyol lagi?” “Tidak ada,” janjiku. “Mana mungkin,” ejek Billie “Jack kan senang cerita konyol.” “Tidak!” teriakku. “Aku cuma...” “Tanya saja kenapa dia dijuluki Manusia Piring Terbang,” kata Billie pada Mom dan Dad. “Tanya!” “Diam, Billie,” bisikku. "Kenapa kau dijuluki begitu?” tanya Mom. Aku angkat bahu. “Entah ya.” *** Beberapa hari berikutnya berlalu cepat. Hari-hari terakhir liburan musim-panas memang selalu berlalu cepat. Aku punya tugas membaca dua buku. Aku baru membaca satu setengahnya. Kalau sedang tidak membaca, aku memandangi langit, mencari-cari meteor. Topik itu menjadi berita besar di TV. Benda keperakan itu masih terus mengitari bumi, dan para ilmuwan di seluruh dunia masih kebingungan mengidentifikasikannya. Tidak ada yang tahu benda apa itu dan dari mana datangnya. Aku terus mencari, tapi tak pernah melihat meteor. *** Minggu malam, hari terakhir liburan, aku lupa tentang meteor itu. Yang kupikirkan cuma sekolah. Siapa yang akan menjadi guruku? Dan teman-teman sekelasku? Ketika sedang ganti pakaian untuk tidur, aku meraba sesuatu di kantong celanaku. Kuambil benda itu. Benda logam dari rumah Mr. Fleshman. Aku pasti telah membawanya pulang tanpa sengaja. Kubolak-balik benda itu di tanganku dan kuamati. Benda itu berwarna hitam mengilap, seukuran beeper. (beeper: alat elektronik menghasilkan sejumlah suara saat seseorang membawanya dipanggil-editor) Kenapa, waktu itu aku menganggap benda ini bisa kujadikan senjata untuk melawan monster? pikirku. Dalam kepanikanku, rupanya aku tidak bisa berpikir jernih. Benda itu sangat halus seluruh permukaannya. Kutekan tombol hitam kecil yang ada di bagian belakangnya, tapi tidak terjadi apa-apa. Ketika memandanginya dari dekat, kulihat ada lubang-lubang kecil di bagian atasnya. Tiga baris lubang. Mungkin ini pengocok garam modern, pikirku. Aku tidak bermaksud mengambil benda ini. Besok akan kukembalikan pada Mr. Fleshman, pikirku. Kuletakkan benda itu di mejaku, lalu aku tidur. Lama sekali aku baru bisa tidur. Aku masih terus memikirkan segala sesuatu yang kulihat di rumah Mr. Fleshman. Poster-poster seram itu... alat pembuat sosok hantu... monster dengan remote.... Lalu, dalam keadaan setengah tidur, aku mendengar suara-suara. Asalnya seperti dari jauh. Suara bernada tinggi dan lucu. Berbicara cepat bersamaan. Apa aku sedang mimpi? Atau ada orang berbicara di pekarangan belakang? Aku berusaha mendengar apa yang mereka katakan, tapi suara-suara itu tenggelam dalam desisan dan siulan statis, seperti stasiun radio yang jauh dan kadang suaranya menghilang. Siulan itu timbul-tenggelam. Suara-suara itu terus terdengar, seperti musik. Apa sih yang mereka bicarakan? Apa ada yang. bicara padaku? Barangkali ada yang berusaha membangunkanku? Atau semua ini hanya mimpi? Kalau ya, berarti mimipi yang sangat menjengkelkan. Aku sangat ingin tahu, apa yang mereka ucapkan. Aku gelisah sepanjang malam. Kubalik kepalaku ke satu sisi, lalu ke sisi lain. Tapi suara-suara itu masih terus terdengar. Nyaring, seperti suara logam, ribut-tenggelam di tengah desisan statis tersebut. Kubenamkan kepalaku di bantal dan kututupi telingaku dengan bantal lain. Tapi suara-suara itu tetap terdengar, bicara sangat cepat dan penuh semangat. Aku terus mendengar suara-suara itu, sampai kemudian Mom membangunkanku. “Jack! Jack!” panggilnya dan depan pintu kamarku. “Bangun! Pergi sekolah!” Aku duduk tegak, terbangun sepenuhnya. Aku bangkit berdiri dengan kaku. "]ack? Kau dengar, tidak?” panggil Mom. “Sudah waktunya bangun.” "Aku sudah siap,” sahutku dengan suara keras. ‘Aku akan mematuhi.” 15 "APA?” kata Mom dari balik pintu “Apa katamu?” Kusadari bahwa aku berdiri sangat tegak di tengah ruangan. “Aku siap!” kataku, meneriakkan kata-kata itu seperti seorang tentara. “Aku akan mematuhi.” “Jangan bercanda terus,” kata Mom “Cepat berpakaian. Adikmu sudah ada di bawah.” Aku tetap berdiri di tempat, memasang telinga. Lalu kupaksa tubuhku untuk santai. Mom sudah turun. "Kenapa aku berkata begitu ya?” kataku keras-keras. Aku melayangkan pandang di kamarku Segalanya tampak sama saja, tapi aku merasa berbeda. Aku merasa bingung. Aku mendengar suara mendengung di kepalaku. Suara mengerik, seperti bunyi jangkrik. Kugeleng-gelengkan kepalaku, dan kucoba membersihkan telingaku dengan jari. Tapi suara mengerik itu datang dari tempat lain. Aku mengenakan celana bersih. Lalu sebuah suara berbisik padaku. Dua suara. Tiga. Dan suatu tempat di dekatku. Suara-suara itu seperti bunyi serangga. Tapi aku mengerti apa yang mereka katakan!. “Kapan kalian datang?” tanyaku pada mereka. “Bisa sebutkan harinya?” Kudengarkan jawaban mereka yang nyaring dan jauh. Lalu aku memberi hormat seperti tentara. “Aku akan siap,” kataku. Kupandangi kotak hitam persegi di mejaku. Suara-suara itu berasal dari dalam kotak. Beberapa suara yang bicara sekaligus. Kuambil kotak itu. Rasanya bergetar di tanganku. “Apa yang mesti kulakukan?” tanyaku pada kotak itu. “Kapan kalian datang?” Lalu aku terperangah. Siapa mereka? Kenapa aku bicara pada mereka? Kenapa aku bisa memahami mereka? Apa yang mereka inginkan dariku? Seribu pertanyaan berkelebat dalam benakku. Seribu pertanyaan menakutkan. Kusambar kotak itu dan kumasukkan ke saku celanaku. Aku mesti mengembalikannya, pikirku ketakutan. Suara-suara itu mempengaruhiku, membuatku bertingkah aneh. Aku tak bisa menghentikan mereka. Aku mesti mengembalikan kotak ini pada Mr. Fleshman. Mr. Fleshman.... Apakah kotak ini juga alat untuk efek khusus? Kalau ya, kenapa aku jadi bertingkah aneh dibuatnya? Kukenakan kaus, lalu kaus kaki dan sepatu. Kemudian aku lari turun, lewat dapur, dan menuju pintu belakang. “Kau mau ke mana?” tanya Mom. Ia sedang duduk di depan Billie Billie sedang menyuap sesendok besar sereal. “Aku mesti mengembalikan sesuatu,” kataku sambil membuka pintu. “Sarapan dulu,” perintah Morn. Ia menunjuk ke kursi. “Duduk!” Suara-suara itu bercericip di telingaku. “Aku akan mematuhi,” kataku. Aku berbalik dan berjalan ke meja, lalu duduk di seberang Billie. “Jack,” kata Billie, “kau pasti akan mendapat Mr. Laker sebagai wali-kelasmu.” Lalu ia tertawa. Mr. Laker adalah guru paling galak di sekolah. Billie masih berbicara terus, tapi aku tidak mendengar. Suaranya tertutup oleh suara-suara dan kotak. “Jack, ranselmu sudah dibereskan?” tanya Mom. Ia beranjak hendak mengambil kopi lagi. “Aku sudah siap,” kataku. Billie masih bicara tentang Mr. Laker, tapi suara-suara dari kotak itu semakin keras. Aku melihat bibir Billie bergerak-gerak, tapi aku tak bisa mendengar suaranya. “Stop! Stop!” teriakku “Aku kan tidak berbuat apa-apa” protes Billie. “Jangan ganggu aku!” kataku. “Aku tidak mengganggumu” jerit Billie. “Jack, kau kenapa?” tanya Mom dengan tegas. Kepalaku mendadak jernih dan aku melongo memandang Mom. “Kenapa kau membentak-bentak adikmu?” tanya Mom. “Aku aku tidak tahu,” gumamku. Lalu suara-suara itu terdengar lagi. “Mom, suruh dia berhenti melotot begitu padaku,” rengek Billie “Dia ingin menakut-nakutiku.” “Jack, ayolah,” kata Mom “Apa kau tidak senang masuk sekolah lagi?” “Aku siap,” kataku. “Jangan bicara seperti robot begitu,” perintah Mom “Kau membuat takut adikmu” Lalu Mom menambahkan, “Aku sendiri jadi takut.” “Aku akan mematuhi,” sahutku. Kupejamkan mataku, berusaha mengusir suara-suara itu. Aku tahu apa yang mesti kulakukan. Aku harus mengembalikan kotak kecil itu pada Mr. Fleshman. Aku melompat dan menyambar ranselku, lalu lari ke luar pintu belakang. Kudengar Mom memanggil-manggil, tapi aku tidak berhenti. Aku tak sabar ingin mengembalikan kotak itu pada Mr. Fleshman. Aku masuk ke pekarangannya, dengan kotak itu di tanganku. Tapi suara-suara itu... Mereka menyuruhku berbalik dan pergi. Suara mereka keras sekali. Kucoba melawan mereka. Aku maju beberapa langkah sambil melambaikan kotak itu. Siapa tahu Mr. Fleshman sedang mengamatiku dari jendela depan. Tapi mendadak kepalaku terserang rasa sakit yang amat sangat. Pelipisku berdenyut-denyut dan aku melihat kilatan putih. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Aku berbalik dan lari, terus sampai ke sekolah. Kubawa kotak kecil itu bersamaku, dan suara-suara itu masih terus berdenging di telingaku. *** Untuk sementara, keadaan di sekolah baik-baik saja. Wali kelasku bukan Mr. Laker, melainkan Mrs. Hoff yang katanya sangat baik. Dan aku sekelas lagi dengan semua temanku tahun lalu. Kumasukkan kotak itu ke ranselku. Sepanjang pagi aku tidak mendengar suara-suara itu lagi... sampai saat pelajaran seni rupa. Mrs. Hansen, guru seni kami, sosoknya seperti lebah yang sibuk. Ia bertubuh bulat pendek dan selalu bergerak lincah dari meja ke meja. Tugas pertama kami hari ini adalah membuat bentuk dari tanah liat. Mrs. Hansen meminta Maddy menjadi model kami. Maddy pura-pura malu ketika duduk di kursi tinggi di depan ruang kelas, tapi kami semua tahu ia cuma malu-malu kucing. Ia berpose seperti bintang film, duduk sedemikian rupa, sehingga cahaya matahari dan jendela menyinari wajah dan rambutnya. Aku mulai membuat kaki Maddy. Memang aneh, tapi aku lebih suka mulai dari kaki, lalu naik hingga ke wajah. Tanah liat di tanganku terasa lembut dan hangat. Aku mulai santai dan merasa senang mengerjakannya Kubuat kaki kiri Maddy, lalu kaki kanannya. Aku ingin berpikir, sementara tidak sedang diganggu oleh suara-suara itu. Kotak apa itu? pikirku. Dan kenapa bisa berada di rumah Mr. Fleshman? Kenapa kotak itu menguasaiku? Apa Mr. Fleshman berbohong padaku? Mungkinkah sebenarnya ia bukan ahli efek khusus? Kalau bukan, apa sebenarnya dia? Suara mendenging itu terdengar lagi di kepalaku. Kuletakkan tanah liatku dan aku memejamkan mata. Suara-suara itu kembali lagi. Berceloteh padaku, memenuhi otakku. Sampai penuh... penuh... penuh... “Jack, bentuk apa ini?” Suara Mrs. Hansen menerobos bunyi dengingan itu. Aku membuka mata. Mrs Hansen mengambil hasil karyaku dan mengangkatnya tmnggi-tinggi. Aku terperanjat ketika melihat apa yang kubuat. Sebuah bola yang bulat sempurna. “Apa ini?” tanya Mrs. Hansen. “Itu otaknya,” kata Maddy, usil, dan depan kelas. “Si Manusia Piring Terbang berulah lagi,” kata Henry. “Aku sudah siap,” teriakku sambil melompat bangkit. “Aku akan mematuhi.” Aku memberi hormat, lalu kuambil bola tanah liat itu dari tangan Mrs. Hansen dan kulemparkan ke seberang ruangan. Bola itu membentur jendela dengan keras. Kacanya bergetar, tapi tidak pecah. Bola itu menempel di kaca. Mrs. Hansen terpekik kaget. Beberapa anak tertawa, yang lainnya terdiam. “Kenapa kaulakukan itu, Jack?” tanya Mrs. Hansen dengan ekspresi marah. “Menurutku itu sama sekali tidak lucu.” “Aku sudah. siap,” ulangku dengan nada seperti robot. “Mereka akan segera datang.” “Hentikan, Jack,” bentak Mrs. Hansen. “Kau membuat takut semua orang. Kenapa kaulemparkan tanah liat itu?” “Hah?” Suara-suara itu mendenging di telingaku. Aku hampir-hampir tak bisa mendengar suaraku sendiri. “Yang lainnya akan segera datang dari planet mereka,” kataku. “Tak lama lagi.” Mrs. Hansen mencengkeram bahuku. Ia memutar tubuhku ke pintu dan mendorongku ke luar. “Anak-anak,” katanya keras-keras, “aku keluar sebentar.” Semua anak memandangiku sementara Mrs. Hansen membawaku ke lorong. Aku tercekat, berusaha menahan rasa takutku. “Aku akan dibawa ke mana?” seruku. “Ke mana?” 16 "LALU, apa yang terjadi di kantor perawat?” tanya Mom. Aku menunduk memandangi dua hot dog di piringku. Aku suka sekali hot dog. Aku berharap bisa makan hot dog setiap malam. Tapi malam ini perutku rasanya kaku. Rasanya aku takkan bisa menelan sedikit pun. “Bagaimana? Apa kata perawat itu padamu, Jack?” tanya Dad tak sabar. Billie memandangiku dari seberang meja sambil memasukkan hot dog banyak-banyak ke mulutnya, lalu mengunyahnya dengan susah payah “Tidak banyak,” sahutku. “Dia bertanya ini-itu, lalu memaksaku berbaring di dipan. Aku malu sekali. Waktu aku keluar, hampir semua anak di sekolah menggodaku. Termasuk anak-anak yang tidak kukenal.” “Itu tidak penting,” kata Mom sambil mengerutkan kening “Apa yang ditanyakan perawat itu padamu?” Aku menunduk dan menendang-nendang kaki meja. Aku sebenarnya tidak ingin membicarakan ini. “Yah... dia bertanya tentang meteor itu. Tidak tahu deh!” “Apa?” Dad menjatuhkan salad kentangnya ke piring. “Kenapa dengan meteor itu?” “Perawat itu menanyakan, apa aku takut dengan berita-berita tentang meteor itu. Katanya mungkin itu sebabnya aku bertingkah aneh.” Mom dan Dad memandangiku. Kurasa mereka mengharapkan aku bercerita lebih banyak. Billie bersendawa. Aku balas menatap mereka. “Apa kau takut?” tanya Mom akhirnya. Aku mengangguk. “Ya, aku takut.” Kuputuskan untuk menunjukkan sebabnya. Kukeluarkan kotak hitam kecil itu dari sakuku dan kuletakkan di meja. “Apa itu?” tanya Dad. “Dari mana kaudapatkan benda itu?” tanya Mom. “Dari rumah Mr. Fleshman,” kataku. “Ada suara-suara yang keluar dari dalamnya. Suara-suara aneh. Sekarang mereka sedang diam. Tapi mereka bicara padaku. Mereka...” Dad mengambil kotak itu. “Ini beeper,” katanya sambil membolak-balik benda itu ditangannya. “Bukan,” protesku. “Suara-suara itu datang melalui benda ini. Kurasa asalnya dari angkasa luar. Aku bisa memahami bahasanya. Mereka bicara padaku.” Billie tertawa. Mom menyuruhnya diam. Dad mengamati kotak hitam itu, lalu memberikannya pada Mom “Ini cuma beeper biasa, Jack,” katanya. “Tak mungkin kau mendengar suara-suara dari dalamnya.” “Tapi aku mendengar!” kataku. “Mereka memberi perintah padaku, dan mereka...” “Kenapa Mr. Fleshman memberikan benda ini padamu?” tanya Mom curiga. “Dia... dia tidak memberikan,” kataku terbata-bata. “Aku mengambilnya.” “Kalau begitu, kau harus mengembalikannya,” kata Morn tegas. “Aku tahu,” sahutku. “Aku memang bermaksud mengembalikannya. Suara-suara itu...” “Kenapa kau terus bicara tentang suara-suara itu?” tanya Dad. “Aku juga dengar!” seru Billie. “Kali ini mereka bicara padaku, bukan pada Jack.” “Diam, Billie!” teriakku. Aku mulai kehilangan kendali, tapi aku tak peduli. “Diam! Diam! Diam!” Aku sangat berharap Mom dan Dad mempercayai ceritaku, tapi kalau Billie mulai bertingkah konyol lagi, habislah aku... “Jangan membentak-bentak adikmu terus!” bentak Mom. “Kok aku tidak dengar apa-apa?” kata Dad. Ia mendekatkan kotak itu ke telinganya dan mendengarkan lama sekali. Lalu ia menggeleng-geleng. “Tidak ada suara apa-apa.” “Tapi... tapi...” Kuambil kotak itu. “Memang tidak terdengar apa-apa, tapi sebelumnya mereka bicara macam-macam padaku. Memberitahukan tentang rekan-rekan mereka yang akan segera datang. Dad mesti percaya. Mereka akan segera datang.” Selesai bicara, aku terengah-engah seperti anjing. Tapi setidaknya aku sudah mengungkapkan perasaanku. Percayakah mereka padaku? Mom dan Dad saling pandang. “Ini cukup serius,” kata Mom pelan. “Jack, kurasa kami mesti membawamu ke Dr. Bendix.” “Aku ikut!” kata Billie. Ia melompat dari kursinya. “Aku juga mau dibawa ke dokter. Aku juga bertingkah aneh. Aku juga mendengar suara-suara. Bawa aku juga!” “Duduk!” perintah Dad galak. “Kaulihat akibatnya pada Billie?” tanya Mom. “Masa bodoh dengan Billie!” teriakku. “Kenapa sih Mom dan Dad tidak mau percaya? Kenapa?” Aku tidak menunggu jawaban mereka. Kusambar kotak hitam itu, lalu aku bangkit dan kursi dan lari keluar lewat pintu belakang. Aku mesti mengembalikan kotak ini pada Mr. Fleshman sebelum aku jadi sinting seratus persen. Dan aku mesti mengetahui yang sebenarnya. Kenapa Mr. Fleshman mempunyai kotak semacam ini? Ia juga berbohong tentang pekerjaannya. Kenapa? Lalu siapa ia sebenarnya? Kenapa suara-suara asing ini berusaha bicara dengannya? Dari mana asal suara-suara itu? Aku memerlukan jawabannya... segera. Orangtuaku menganggap aku mulai tidak waras. Begitu pula semua orang di sekolah. Hanya Mr. Fleshman yang bisa mengembalikan reputasiku. Sore itu hujan. Sepatuku terasa licin menginjak rumput yang basah. Papan-papan pagar juga terasa basah dan dingin ketika aku masuk di celah-celahnya, menuju pekarangan belakang Mr. Fleshman. Ketika melangkah, aku tersandung sesuatu yang besar dan hidup. Makhluk itu berseru kaget, lalu mundur sambil mengibas-ngibaskan ekor. “Bruiser?” Aku mengenali anjing itu. Anjing labrador hitarn milik tetangga kami di ujung jalan. “Bikin aku kaget saja,” kataku sambil mengulurkan tangan untuk membelai kepalanya... tapi gerakanku terhenti mendadak. Aku terpaku menatap benda yang ada di mulut anjing itu. Sebuah bola. Bola tenis biasa. Kenapa aku begitu ketakutan melihatnya? Kenapa mendadak aku jadi ingin menjerit dan terus menjerit? “Pulanglah,” perintahku pada anjing itu. “Pulang, Bruiser. Pulang.” Aku melewati anjing itu, terus berjalan ke beranda belakang. Aku terkesiap ketika melihat Mr. Fleshman. Ia sedang berdiri di ambang pintu dapur. Dalam cahaya dari dapur, rambutnya yang keperakan bersinar aneh. Matanya yang kelabu menatapku dengan tajam dan senyum aneh mengembang perlahan di bibirnya. “Jack,” katanya berbisik, “aku sudah menunggumu.” 17 "HAH?” Aku terkesiap. Sepasang mata keperakan itu terasa sangat menusuk. Dingin dan tajam, membuatku merinding ngeri. “Kenapa Anda menungguku?” tanyaku akhirnya. Senyum Mr. Fleshman semakin lebar. Ia angkat bahu.”Kupikir mungkin kau berminat melihat keajaiban teknik film lagi,” katanya. Ia mencondongkan tubuh ke arahku. “Karena kau sudah tahu rahasiaku,” bisiknya, “kurasa kau mau melihat beberapa trik lagi.” Aku mundur. “Tidak!” aku berseru keras, tanpa bisa menyembunyikan kepanikan dalarn suaraku. Kuangkat kotak hitam kecil itu. “Aku... aku menemukan ini,” kataku terbata-bata. “Maksudku, aku membawanya tanpa sengaja. Aku tidak bermaksud mengambilnya, tapi...” Mr. Fleshman mengibaskan tangan, seolah mengatakari, “Tidak masalah.” Kuulurkan kotak itu padanya dan kutunggu suara-suara dalam kotak itu menyuruhku untuk tidak melakukannya. Tapi Mr. Fleshman. menyambar kotak itu dari tanganku yang gemetar. “Kau menemukan beeper-ku?” katanya sambil memutar-mutar kotak itu di tangannya. “Bagus. Aku sudah mencarinya ke mana-mana.” Lalu ia memasukkan kotak itu ke saku celananya. “Beeper?” seruku. “Bukan! Itu bukan beeper. Maksudku..” Mr. Fleshman mengeluarkan kotak itu dan mengamatinya lagi. “Ini memang beeper,” katanya sambil menatapku curiga. “Aku membelinya supaya pihak studio bisa menghubungiku kalau aku sedang tidak di rumah.” “Tapi aku mendengar suara-suara...,” aku memulai. Ia menyipitkan matanya padaku. “Suara-suara?” “Ya. Suara-suara aneh.” Mr. Fleshman mendekatkan kotak itu ke telinganya. “Suara-suara?” Ia tertawa. “Kau tidak mungkin mendengar suara dari dalam kotak kecil ini, Jack. Kotak ini berbunyi kalau ada pesan telepon untukku. Cuma itu” Aku menatapnya tajam, mengamati mata dan wajahnya. Apakah ia tidak bohong? Kelihatannya ia benar-benar serius. Tapi apa maksudnya jika demikian? Apa itu berarti aku sudah sinting? Benar-benar sinting? Mr. Fleshman membuka pintu kasa. “Masuklah,” katanya. “Akan kutunjukkan proyek yang sedang kukerjakan saat ini. Kurasa kau akan menyukainya.” “Ah... tidak,” sahutku sambil mundur. “Aku tidak bisa. Aku...” “Aku membuat model ikan hiu berkepala dua,” kata Mr Fleshman “Kedua kepalanya bisa bergerak secara terpisah. Masing-masing mulutnya, membuka dan menutup secara terpisah juga. Tapi aku mendapat kesulitan dengan tubuhnya Aku mesti menyembunyikan banyak peralatan listrik di dalam tubuhnya, sehingga tubuhnya jadi terlalu lebar. Tapi...” “Aku tidak bisa melihatnya sekarang,” selaku. “Terima kasih Tapi aku mesti pulang. Aku cuma ingin mengembalikan beeper itu” Ia mengangguk. “Baik. Lain kali saja kalau begitu. Sampai ketemu, Jack.” Ia masuk ke rumah. Aku berjalan pulang ke rumahku. Kepalaku mendengung seperti dipenuhi ribuan lebah. Aku sangat bingung, cemas, dan takut. Aku perlu waktu untuk berpikir. Aku tak mungkin langsung pulang. Mungkin sebaiknya aku naik. Sepeda saja jauh-jauh, sambil mencoba mereka-reka apa sebenarnya yang terjadi padaku. Atau barangkali aku berjalan-jalan kaki saja. Aku menuju jalan. Kulihat Bruiser, anjing labrador itu, berlari pulang, masih dengan bola di mulutnya. Aku melihat ke arah rumahku. Jendela-jendela depannya gelap. Kurasa Mom,. Dad, dan Billie masih berada di ruang makan di belakang. Mereka mengira aku sinting, pikirku sedih. Dan sekarang aku merasa mungkin mereka benar. Beeper? Katanya benda itu cuma beeper? Kutendang sebutir kerikil di depanku. Kerikil itu terlempar ke tengah jalan. Rasanya aku ingin menendangi apa saja. Ingin menjerit-jerit, meninju, dan menyepak, atau mengaum keras-keras sambil lari membabi buta di semua pekarangan rumah orang, seperti binatang liar. Tapi aku cuma menendang bongkahan tanah kecil yang kemudian membelah dua. Lalu aku berjalan lagi sambil menunduk dan berpikir keras, tentang segala yang terjadi selama ini. Mulanya aku tidak menghiraukan suara siulan, nyaring di atasku. Suara itu pelan saja, seolah berasal dari dalam pikiranku. Tapi kemudian bunyinya semakin nyaring. Bahkan nyaring sekali, hingga aku tak bisa lagi mengabaikannya. Aku mengangkat wajah untuk melihat dari mana asal suara itu. Dan kulihat sebuah bola berwarna jingga menyala di langit malam. Bola? Bola itu meluncur turun... turun... turun... Bunga-bunga api merah dan kuning memancar dari sisi-sisinya. Seperti kembang api, pikirku. Selanjutnya aku tidak sempat memikirkan apa-apa lagi. Sebab bola api besar itu jatuh tepat di atasku. Cahayanya yang putih membutakan mengitariku, menelanku. Dan aku pun menjerit. Menjerit. Dan terus menjerit. 18 TERDENGAR suara BLUK keras yang mengatasi jeritanku. Lalu semuanya hening. Ketika aku membuka mata, ternyata aku sedang berlutut di rumput. Aku masih hidup! Cahaya membutakan itu sudah lenyap. Aku berlutut dalam cahaya lampu jalan. Tenggorokanku sakit karena menjerit-jerit dan jantungku berdebar kencang. Aku menarik napas panjang. Mendadak udara terasa asin dan asam, seperti udara laut. Setelah mataku bisa menyesuaikan diri, tampak puluhan titik-titik bercahaya, seperti kunang-kunang. Setelah menyipitkan mata, kusadari bahwa cahaya itu adalah bunga api. Pecahan-pecahan karang terbakar yang membuat jalanan dan trotoar berkilauan. Seperti tidak nyata. Aku melongo tak percaya, mengamati bunga-bunga api itu mendesis dan berasap, lalu berangsurangsur menghilang. Lalu tampak bola jingga itu, bersinar temaram. Bola api dari langit. Bola itu mendarat di ujung pekarangan Mr. Fleshman. Dekat sekali, pikirku. Bola itu jatuh dekat sekali denganku. Aku mulai gemetar, gigiku gemeletuk. Kucoba bangkit berdiri, tapi aku masih gemetar hebat. Sambil terus mengamati bola jingga itu aku menunggu hatiku tenang kembali, lalu perlahan-lahan aku bangkit berdiri. Kuhampiri bola jingga yang bersinar itu. Sebuah meteorit! “Bukan main!” gumamku keras-keras. Aku benar-benar melihat meteorit jatuh. Dan benda ini hampir jatuh di atasku! Luar biasa! Sulit dipercaya! Hebat! Aku tak sanggup menggambarkannya. Aku tidak tahu mesti mengatakan apa. Mesti berpikir apa. Sekarang aku berdiri memandangi meteorit itu dengan gemetar. Karena ketakutan? Atau takjub? Karang itu berbentuk bola bulat sempurna. Karang dari angkasa luar. Berapa juta mil telah ditempuhnya untuk sampai ke bumi? Tentunya jutaan mil, dan benda ini jatuh hanya beberapa meter dariku. Aku membungkuk di atas meteorit itu. Udara di sekitarnya terasa panas dan aroma asam di sekitarku semakin keras. Perlahan-lahan sinar jingga meteorit itu memudar... lalu lenyap. Seberapa panaskah benda ini? pikirku. Bisakah kuangkat? Karang itu berukuran sebesar bola kriket. Ketika kuperhatikan dari dekat, ternyata bola itu tidak mulus sepenuhnya. Di permukaannya ada kawah-kawah kecil sekali. Rasanya aku tak percaya. Aku sedang memandangi karang dari angkasa luar? Aku tidak tahan. Aku mesti menyentuhnya. Tapi bagaimana kalau bola itu ternyata panas membara? Akhirnya aku mengambil sebatang ranting panjang. Dengan tangan gemetar kusentuhkan ranting itu ke meteorit tersebut. Tidak berasap ataupun berapi. Aku memegang ujung ranting. Hangat, tapi tidak benar-benar panas. Kulemparkan ranting itu, lalu aku berlutut di samping bola tersebut. Bisakah aku menyentuhnya? Beranikah aku? Mesti berani. Kuulurkan jari telunjukku.., lalu kudekatkan... kudekatkan... Dan kusentuhkan sedikiiit sekali pada meteorit itu. Lalu kutarik tanganku cepat-cepat, menunggu rasa panas menjalar. Tapi tidak ada rasa panas apa pun. Kuulurkan lagi jariku dan kusentuhkan ke permukaan bola yang kasar. Kali ini lebih lama. Meteorit itu terasa hangat, tapi tidak panas. Aku senang sekali, dan aku mulai terbatuk-batuk. Kucoba menenangkan din dengan menarik napas panjang. Tapi mana mungkin aku bisa tenang? Aku baru saja menyentuh batu dari angkasa luar. “Mesti kutunjukkan pada Mom dan Dad!” kataku keras-keras. Bisakah kuambil karang ini? Meteorit ini tidak hangat lagi, tapi seberapa beratnya? Kuusapkan tanganku yang berkeringat di kaki celanaku, lalu aku membungkuk untuk mengangkat meteorit itu. Wah, lebih berat dari yang kusangka. Kupegang benda itu dengan dua tangan dan kuangkat dari tanah. Tapi sebuah suara. kecil nyaring berseru, “Hei, letakkan aku!” 19 "HAH?” Kujatuhkan bola itu ke rumput. Benda itu berdebuk keras, tap tidak berguling Aku hendak mengangkatnya lagi, tapi suara tawa di belakangku membuatku kaget. Aku membalikkan badan “Billie! Kau ya? Kau yang bicara tadi?” “Ya, aku. Siapa lagi?” Billie muncul dengan mata bersinar-sinar. “Kau sedang apa di sini?” tanyaku. “Aku melihatmu dari jendela,” katanya “Kau tadi ketakutan ya?” “Mungkin,” sahutku. “Aku jadi menjatuhkan...” “Kau mau apa dengan bola itu?” tanyanya. “Itu bukan bola,” kataku. “Itu meteorit dari angkasa luar, seperti yang diberitakan di TV.” Ia tertawa “Bohong!” “Tidak Sungguh” protesku “Benda itu jatuh dari sebuah bola api raksasa Cahayanya terang sekali, membutakan.” “Bo-hong,” kata Billie dengan mimik tak percaya. “Dengar,” pintaku, “aku mendengar suara siulan, lalu benda itu meluncur cepat sekali, sampai-sampai aku mengira aku sudah mati tertimpa.” “Bo-hong!” ulang Billie. “Jack, itu kan cuma bola. Kenapa kau mengarang cerita konyol lagi? Kau bakal ditertawakan anak-anak lainnya.” “Aku tidak bohong!” teriakku. “Bola itu jatuh dari langit." “Baiklah, Manusia Piring Terbang,” sahut Billie. “Diam!” teriakku. “Manusia Piring Terbang! Manüsia Piring Terbang!” Billie berteriak-teriak. “Itulah julukanmu selamanya.” Aku memandangi adikku itu sambil berlutut di samping meteorit tersebut. “Kau benar-benar tidak melihat benda ini jatuh dari langit?” Billie menggeleng. “Tentu saja tidak. Mana mungkin ada bola karet jatuh dari langit malam-malam?” Aku mengerang. “Ini bukan karet, tapi karang, Billie. Dari angkasa luar.” “Bo-hong,” kata Billie untuk kesekian kalinya. Mom dan Dad pasti percaya padaku, pikirku. Biasanya mereka tidak percaya, tapi kali ini aku punya bukti. Kuangkat meteorit itu dengan hati-hati “Dasar konyol!” seru Billie. “Pakai pura-pura benda itu berat” “Memang berat kok,” erangku. Tanpa mengacuhkan tawa Billi, kubawa karang itu dengan hati-hati. Billie mengikutiku sambil terus bergumam sepanjang jalan, “Manusia Piring Terbang. Manusia Piring Terbang.” Aku masuk ke rumah dan lari ke ruang TV. Mom dan Dad menoleh. “Jack?” kata Mom. “Ini dia” teriakku “Yang selama ini diberitakan di TV. Meteorit dari angkasa luar. Mendarat di dekatku. Jatuh dari bola api raksasa. Sekarang kubawa kemari!” Orangtuaku memandangi karang di tanganku. “Bola kriket?” tanya Mom pada Dad. Dad mengangkat matanya padaku. “Apa itu?” Aku berusaha mengatur napas. “Ini jatuh dari langit!” seruku. “Ini meteorit. Meteorit sungguhan.” “Aku melihat dua meteorit,” kata Billie. “Tidak deh... lima. jatuh dari bulan.” “Billie, pergilah ke ruangan lain,” perintah Dad dengan tegas. Billie langsung mematuhi. Ia pergi. Orangtuaku menghampiriku dengan ekspresi cemas. Dad menyentuh bahuku. “Tidak apa, Jack. Kami mengerti bahwa kau sedang ketakutan.” “Berita-berita TV itu sangat mengganggu,” kata Mom pelan sambil menggigit bibir bawahnya. “Kau jadi ketakutan, tapi kau akan pulih.” “Ya, benar,” kata Dad sambil mengangguk-angguk. “Tapi ini meteorit!” kataku sambil meyodorkan benda berat itu pada mereka. “Naiklah ke kamarmu dan ganti pakaian,” kata Mom lembut sambil membelai rambutku. “Berbaringlah di tempat tidur. Aku akan naik sebentar lagi.” “Simpan dulu bola itu,” kata Dad. “Kulihat benda itu membuatmu takut.” “Ini bukan bola,” ratapku. “Kau akan sembuh,”kata Mom. “Kami akan mengurusmu.” “Kau akan pulih, Jack,” Dad menimpali. “Besok pagi Dr. Bendix akan memeriksamu. Tak usah cemas, oke?” Aku hendak memprotes, tapi apa gunanya? Mereka takkan pernah percaya, meski meteorit ini jelas-jelas ada di depan hidung mereka. Aku tidak membantah lagi. Dengan lemas aku naik ke kamarku. Kudengar Billie menyanyi keras-keras di ruang hawah: Manusia Piring Terbang, Manusia Piring Terbang, mau ke mana? Ke Jupiter dan Mars, mencari bola karet.... Aku sebal kalau Billie mengarang-ngarang lagu. Jelek sekali, dan kacau balau. Aku masuk ke kamarku dan membanting pintu sekeras mungkin. “Kalian semua bodoh,” gumamku geram. “Nanti kalian akan menyesal karena tidak percaya padaku. Dan aku tidak akan mau menerima permintaan maaf kalian.” Kuletakkan meteorit itu dengan hati-hati di tengah mejaku. Lalu aku ganti pakaian dengan piama. Ketika hendak naik ke tempat tidur, aku mendengar suara-suara. Nyaring melengking. Aku terperanjat. Kotak kecil itu sudah kukembalikan pad,a Mr. Fleshman, bukan? Tapi suara-suara itu masih terdengar. Berarti mereka ada di dalam kepalaku. Aku benar-benar sinting. 20 KUTUTUPI telingaku, tapi suara-suara itu masih juga terdengar. Dekat sekali, jauh lebih dekat sekarang. Mereka bercericip dengan jelas di tengah siulan monoton itu, dan aku bisa memahami ucapan mereka. Mereka akan datang. Segera. Sekarang suara itu mendesis. Kadang keras kadang pelan. Kututupi kepalaku dengan bantal, tapi tak ada gunanya. Kau akan membantu kami, kudengar kalimat itu dengan jelas, begitu jelas, hingga membuatku merinding ngeri. Kau akan membantu kami. Kau akan siap. Kau akan mengikuti rencana kami. “Aku akan mengikuti rencana kalian,” kataku dengan bisikan tertahan. Lalu aku menjerit, “Tidak!” Aku mesti melawan mereka. Supaya mereka tidak bisa mengendalikanku. Tapi bagaimana caranya? Suara-suara itu seolah mengelilngiku, berpusar di sekitarku. Kau akan siap. Kau akan membantu kami menyebar kekuasaan. Kekuasaan kami akan semakin luas Kau akan mengikuti rencana kami. “Ya,” bisikku “Ya.” Tapi aku mengertakkan gigi dan berusaha melawan. Kucoba untuk tetap menjadi diriku sendiri Jack Archer. Jack Archer tidak akan menjadi budak, begitulah tekadku. Jack Archer tidak akan mematuhi mereka. Tidak akan membantu mereka. Sementara suara-suara itu berdenging di telingaku, kuulangi menyebutkan namaku berulang-ulang. Selama aku masih sadar siapa diriku, aku tidak akan apa-apa. Aku duduk di tepi ranjang, seluruh ototku tegang. “Aku mesti memperingatkan orang-orang,” kataku keras-keras “Orang-orang mesti tahu bahwa makhluk-makhluk ini akan segera datang ke bumi.” Tapi bagaimana caranya? Siapa yang mau percaya padaku? Orangtuaku sendiri mengira aku sinting. Kudengar mereka sedang meninggalkan pesan lewat telepon untuk Dr Bendix di ruang bawah. Siapa yang mau percaya padaku? Kau akan siap untuk kami. Kau akan membantu kami menyebarkan kekuasaan. Kau akan menuntun kami untuk meraih kemenangan segera. Kemenangan... kemenangan... “Ya, aku akan siap!” seruku. Aku merinding. Mereka kedengarannya begitu dekat. Kapan mereka akan datang kemari? Kapan mereka mendarat di bumi? Sebuah gagasan melintas dalam pikiranku. Aku teringat acara radio yang suka didengarkan ayahku di mobil. Orang-orang menelepon untuk melaporkan tentang UFO, atau bicara tentang Star Trek dan semacamnya. Kunyalakan radio kecil di meja samping tempat tidurku. Acara musik. Setidaknya bisa menenggelamkan suara-suara bising di kepalaku. Kukecilkan volume radio, supaya Mom dan Dad tidak mendengar. Lalu aku mencari-cari acara itu dari stasiun ke stasiun. Ada penelepon sedang bicara tentang Klingon dalam salah satu episode Star Trek. Aku menunggu nomor telepon stasiun radio itu disebutkan, lalu aku menghubungi nomor tersebut. Enam kali pertama, salurannya sibuk. Pada percobaan ketujuh baru berhasil. “Out of This World,” kata seorang wanita derigan suara lembut yang sangat menyenangkan. “Apa yang ingin Anda bicarakan?" “Mereka akan datang!” seruku. “Makhluk planet akan datang!” “Siapa nama Anda?” tanya wanita .itu dengan tenang. “Jack Archer,” kataku dengan suara gemetar. “Aku mesti memperingatkan semua orang. Tinggal sebentar lagi. Mereka akan mendarat di bumi... segera!” “Berapa umurmu, Jack?” tanya wanita itu. “Dua belas,” sahutku. “Tapi itu tidak penting. Aku mesti memperingatkan semua orang. Anda mesti percaya padaku. Suara-suara itu mengatakan padaku bahwa mereka akan datang segera.” Hening sejenak, lalu wanita itu berkata dengan suaranya yang lembut menyenangkan, “Jack, maukah kau melakukan sesuatu yang sangat penting untukku?” “Apa?” teriakku. “Melakukan apa?” “Sesuatu yang sangat penting.” “Apa itu?” tanyaku. “ Teleponlah kemari sepuluh tahun lagi.” “Tapi... tapi...,” aku terbata-bata. Terdengar suara klik. Telepon ditutup. Kubanting telepon itu ke meja. “Dia tidak percaya,” gumamku marah. Siapa yang mau percaya dan bisa menolongku? Kuambil buku notes dan pensil dari laci meja. Aku mesti membuat daftar orang yang mungkin mau mendengarkan dan mau menolongku. 1. Orangtuaku. Mesti dicoba sekali lagi. 2. Mr. Liss. Ia guru ilmu alamku. Mestinya aku langsung ingat padanya. Ia sangat pintar dan tahu segala hal tentang ilmu alam. 3. Mr. Fleshman. Mungkin ia tidak akan percaya padaku, tapi dialah satu-satunya orang yang kemungkinan mau mendengarkan. Siapa lagi? Ada lagi? Tidak, rasanya tidak, tapi daftar ini sudah cukup untuk menenangkanku. Kumatikan lampu dan aku siap-siap tidur. Meteorit di mejaku memancarkan cahaya temaram. Akan kubawa benda itu pada Mr. Liss, pikirku, supaya ia tahu bahwa aku tidak mengarang-ngarang. Mungkin dengan demikian ia akan percaya bahwa sesuatu yang aneh memang sedang terjadi. Akhirnya aku tertidur, setelah asyik memandangi meteorit itu dan mendengarkan suara-suara yang mendengung di kepalaku. Rasanya baru beberapa menit aku tidur. Tahu-tahu Mom sudah menyuruhku bangun. Setelah berpakaian, aku cepat-cepat turun, mengucapkan selamat pagi pada Mom dan Dad yang sedang minum kopi. Aku ikut duduk dan menarik napas panjang. Coba sekali lagi pikirku. Aku akan bicara dengan tenang sekarang, untuk terakhir kali. Ketika aku mengangkat wajah, kulihat Mom dan Dad sedang memandangiku. “Bagaimana perasaanmu pagi ini, Jack?” tanya Mom. “Baik,” sahutku. Aku menarik napas panjang lagi. “Aku baik-baik saja,” kataku. “Tapi ada yang mesti kuberitahukan pada Mom dan Dad.” “Apa?” tanya Dad sambil mencondongkan tubuh “Ehm “ Mendadak Billie lari masuk sambil berteriak-teriak, “Aku menemukan meteorit! Lihat! Aku juga menemukan satu!” 21 "COBA lihat!” teriakku. Apa betul Billie menemukan meteorit? Kusambar benda itu dari tangannya dan kuamati dengan saksama. Tapi aku kecewa. Benda ini hanya bola karet yang biasa kami mainkan. “Coba kulihat,” kata Dad. Ia mengambil bola itu dari tanganku dan pura-pura mengamatinya. Billie meleletkan lidah padaku. “Lihat, kan? Aku juga menemukan meteorit,” ejeknya. “Tapi punyaku sungguhan!” teriakku. “Sungguhan!” Aku tadi hendak bersikap tenang, tapi kenapa jadi begini? Sekali lagi Billie telah mengacaukan semuanya. Sekarang orangtuaku takkan pernah percaya padaku. “AAAAH!” Aku melolong marah dan melompat bangkit dari meja. “Jack, habiskan sarapanmu!” perintah Mom. Tapi aku lari keluar dari ruangan itu, naik tangga, melompati dua anak tangga sekaligus. Kuambil ranselku dan kusambar meteorit itu dari meja. Lalu aku keluar dari rumah. Kudengar orangtuaku berseru memanggil-manggil, tapi aku tak peduli. Aku mesti mencari orang yang mau percaya padaku. Jangan-jangan cuma aku yang tahu tentang apa yang sedang terjadi. Seluruh planet ini bisa mendapat masalah, pikirku. Diserbu oleh makhluk-makhluk dari planet lain. Dan orangtuaku lebih suka pura-pura percaya bahwa bola karet yang ditunjukkan Billie itu benar-benar meteorit? Tapi Mr. Liss pasti mau percaya. Ia guru ilmu alam. Orang-orang tentu mau mendengarkan kalau ia yang bicara. Aku berlari-lari kecil menyeberang jalan. Marsha dan Maddy lan menghampiriku. Maddy menatap meteorit di tanganku “Kau masih membawa-bawa tanah liat itu?” tanyanya “Kau tidak akan melemparkannya ke jendela lagi, bukan?” Menurutku ucapannya tidak lucu, tapi kedua anak itu cekikikan. Kucoba menjelaskan pada mereka, “Ini bukan tanah liat. Benda ini jatuh dari langit. Ini semacam meteorit” “Jack jatuh dari langit,” kata Marsha pada Maddy “Yeah, dengan kepala lebih dulu!” Mereka tertawa terbahak-bahak. “Kurasa makhluk asinglah yang mengirimkan meteorit ini, sebagai peringatan,” kataku “Atau mungkin ini untuk mengetes atmosfer kita. Untuk melihat apakah aman mendarat di sini.” Kali ini Marsha dan Maddy tidak tertawa. Mereka menatapku dengan tajam. “Eh, Jack, masa kau percaya yang seperti itu?” tanya Maddy. “Aku tidak bohong. Kalian akan lihat sendiri nanti,” bentakku. Lalu aku lari. Aku tidak mau menjadi bahan ejekan mereka lagi. Kubawa meteorit itu dengan hati-hati, dengan dua tangan. Ketika aku lari masuk ke gedung sekolah, beberapa anak menunjuk-nunjuk ke arahku sambil tertawa. Aku naik ke laboratorium. “Mr. Liss?” panggilku. “Mr. Liss? Aku ingin menunjukkan...” Tapi ia tidak ada di situ. Baru dua jam lagi ada pelajaran ilmu alam. Aku tahu, tak mungkin aku membawa-bawa meteorit ini sepanjang pagi, jadi kuletakkan benda itu di sebuah rak yang penuh sesak di bagian belakang ruangan. Lalu aku bergegas masuk kelas. Pagi itu berlalu lamban. Aku tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Aku terus melihat jam, menunggu kelas ilmu alam dimulai. Menunggu kesempatan bicara dengan Mr. Liss. Aku akan sangat tenang, pikirku. Aku akan berusaha bicara seperti ilmuwan. Mula-mula akan kutunjukkan meteorit itu, lalu akan kuceritakan tentang suara-suara di kepalaku. Suara-suara yang memberi peringatan padaku. Kemudian kami akan mencari cara terbaik untuk memperingatkan semua orang akan kedatangan makhluk-makhluk asing itu. “Kau bisa menjawab pertanyaan itu, Jack?” tanya guruku. Apa maksudnya? pikirku. “Tidak,” sahutku. Seisi kelas tertawa.. Mrs. Hoff juga tertawa. “Kulihat kau sedang melamun,” katanya “Mungkin,” sahutku. Lalu kenapa? Aku sibuk berpikir tentang hal-hal penting. Itu yang ingin kukatakan, tapi aku justru cuma duduk membiarkan diriku dijadikan bahan tertawaan. Begitu bel berbunyi aku langsung melompat bangkit. Aku serasa ingin terbang ke ruang lab di atas. Tapi Mrs. Hoff memanggilku untuk memastikan aku sudah mencatat PR yang mesti kukerjakan. Begitu aku tiba di lab, ruangan itu sudah penuh. Anak-anak sudah duduk di tempat masing-masing, mengeluarkan buku catatan mereka. Mr. Liss sedang bicara pada beberapa anak di depan ruangan. Akhirnya! pikirku. Akhirnya aku bisa menunjukkan meteorit itu padanya dan menceritakan apa yang terjadi. Kuturunkan ranselku dan aku bergegas menuju rak di bagian belakang ruangan, tempat aku meletakkan meteor itu. Tapi aku terpekik kaget. Meteorit itu hilang! 22 Di mana meteorit itu? Di mana? Aku tercekat dan lututku mulai lemas. Terdengar suara tawa. Aku berbalik dan melihat Henry di lorong samping deretan jendela. Ia nyengir padaku, lalu mengangkat tangannya. Meteorit itu ada padanya! “Hei, kembalikan!” teriakku. “Ambil saja sendiri, Manusia Piring Terbang!” balas Henry Aku hendak menyambarnya, tapi Henry melemparkan benda itu pada Derek. Aku melompat ke arah Derek. Ia melemparkan benda itu kembali pada Henry. Anak-anak lain tertawa dan bersorak-sorak. “Hati-hati dengan benda itu,” pintaku. “Itu bukan bola! Sungguh! Itu bukan bola!” Henry melemparkan meteorit itu pada Maddy dan Maddy mengulurkannya padaku.”Ini, Manusia Piring Terbang!” Aku hendak menyambarnya, tapi Maddy melemparnya lagi kepada Derek, dan Derek mengopernya kepada Marsha. “Jangan” teriakku “Jangan dijatuhkan! Itu meteorit dari angkasa luar! Jangan dijatuhkan!” Kurasa tidak ada yang mendengarku. Seisi ruangan berisik sekali. Anak-anak bersorak-sorak meminta Marsha melemparkan benda itu pada mereka. Semuanya bertepuk tangan dan tertawa-tawa sambil berseru, “Manusia Piring Terbang! Manusia Piring Terbang! Manusia Piring Terbang!” “Hentikan!” teriakku panik. “Kemarikan! Kemarikan!” teriak Henry sambil melambai-lambai pada Marsha. “Jangan!” pintaku. Marsha melemparkan meteorit itu kepada Henry di seberang ruangan. Aku melesat untung-untungan, berusaha menangkapnya. Meleset. Henry juga meleset. Benda itu lolos dari tangannya. Melayang ke luar jendela yang terbuka. Anak-anak semakin keras berteriak-teriak dan bertepuk tangan. Sejenak aku terpaku, memandang ke luar jendela. Lalu kudengar suara-suara itu memerintahku, “Lompat! Lompat! Lompat!” Aku memanjat ke tepi jendela. “JANGAN!” Kudengar Marsha berteriak. Aku melihat ke bawah, lima lantai ke bawah. Jauh sekali.Terlalu jauh untuk melompat. Aku mulai pusing dan limbung, nyaris jatuh. Tak bisa! Tak bisa lompat! “Lompat! Lompat! Lompat!” Suara-suara itu memerintahkan. “Si Manusia Pirrng Terbang mengira dia bisa terbang ” teriak Derek. “Hentikan dia!” seru Maddy. “Tolong hentikan dia!” “Lompat! Lompat! Lompat!” perintah suara-suara itu “Lompat! Lompat! LOMPAT!” Mereka meneriakkan kata-kata itu di kepalaku. “Ya” teriakku “YA! AKU AKAN MEMATUHI.” 23 "TIDAAAAK!” Kudengar seseorang berteriak. Sesudahnya baru kusadari bahwa yang berteriak itu aku sendiri. “TIDAK! Aku tidak akan melompat! Tidak akan!” Aku mundur dari tepi jendela sambil menggelengkan kepala keras-keras untuk mengusir suara-suara yang mencoba mengendalikanku itu. Dengan berdebar-debar aku berbalik dari jendela, menghadapi puluhan wajah yang keheranan dan suara bisik-bisik tertahan. Aku menerobos anak-anak lainnya dan keluar dari lab, turun tangga, dan menuju jalan. Di mana meteorit itu? pikirku sambil mencari-cari di jalan. Benda itu jatuh dari lantai lima. Pecahkah? Atau hancur menjadi bubuk? “YES!” teriakku ketika melihat benda itu tergeletak di antara rerumputan tinggi. Aku menyambarnya dan memeriksanya. Ternyata tidak apa-apa. Dengan hati-hati kuangkat benda itu. Lalu aku menengadah ke lantai hma Anak-anak melongok dari jendela ruang lab, memanggil-manggilku “Manusia Piring Terbang! Manusia Piring Terbang!” Suara itu melayang di pekarangan sekolah. Mr. Liss ikut melongok ke bawah, memandangiku sambil geleng-geleng kepala dengan kesal. Mendadak aku merasa sangat marah. Aku tidak tahan lagi. Sebab Mr. Liss jelas tampak tak percaya saat menatapku. Sekarang ia pun akan mengira aku sinting! “Tidaaaak!” Aku menjerit marah. Sambil memegangi meteorit itu erat-erat aku mulai lari, melintasi jalan dan terus lari. Teriakan anak-anak itu terdengar di belakangku. Aku menoleh dan melihat Mr Liss melambai-lambaii dengan panik, menyuruhku kembali ke gedung Sekolah. Tapi aku tak mau kembali. Aku mesti menyingkir dari teriakan dan ejekan jahat mereka. Aku lari pulang, melewati pekarangan-pekarangan rumah yang hijau dan trotoar yang berkilat-kilat. Aku menyerbu masuk rumah. Tak ada siapa-siapa di rumah pada siang hari begini. Dengan.terengah-engah aku naik ke kamarku. Kuletakkan meteorit itu di mejaku, lalu aku membantingkan tubuh ke tempat tidur. Kubenamkan wajahku yang berkeringat di bantal dan berusaha menenangkan diri. Tapi suara-suara itu terdengar lagi Memanggil-manggilku. Kau mesti mematuhi. Kau akan siap. Kami akan segera datang. Kau akan membantu kami memperoleh kemenangan. “Ya!” seruku sambil bangkit berdiri. “Ya, aku sudah. siap. Ya, aku akan membantu kalian.” 24 AKU berdiri kaku di tengah kamarku dan memandangi meteorit itu, terus memandanginya sampai benda itu menjadi bentuk samar-samar yang berkilauan di mejaku. “Aku siap!” seruku. Suaraku bergema di rumah yang kosong. “Aku akan mematuhi!” Suara-suara itu berceloteh penuh semangat. Aku mengerti bahwa mereka akan segera tiba. Mereka bisa mendarat di bumi setiap saat. Lalu apa selanjutnya? Apa rencana mereka? Kata mereka, mereka ingin menyebar kekuasaan dan memperoleh kemenangan. Apakah ini berarti mereka ingin mengobarkan perang? Apa mereka hendak menyakiti manusia? Atau bahkan membunuh manusia? Aku berusaha keras mendengar apa yang diucapkan suara-suara itu, tapi sekarang mereka bicara cepat sekali, seperti suara tupai di film kartun. Aku jadi sulit menangkap percakapan mereka. Dari mana asal suara-suara ini? Lagi-lagi aku bertanya-tanya, sambil berdiri kaku dan mendengarkan. Aku merasa pengaruh mereka mulai menguasai diriku. Apa mereka benar-benar ada di dalam kepalaku? “Perintahlah aku!” teriakku. “Aku sudah siap melayani." Benarkah aku sendiri yang mengucapkan kata-kata tak masuk akal itu? Suara-suara itu menguasaiku, tapi sesekali aku merasa menjadi diriku kembali selama beberapa detik, dan bisa berpikir jernih. Pada saat-saat sadar seperti itu, aku sempat melihat selembar kertas yang tergeletak di mejaku, dan nama-nama yang tertulis di situ. Kertas itu berisi daftar orang yang mungkin mau mendengarkan dan mau percaya padaku. Mr. Fleshman! Ya. Namanya kutulis paling akhir di daftar. Suara-suara itu mengelilingiku, membuatku seperti terhipnotis. Begitu banyak suara. Lalu mereka diam sejenak, dan aku membalikkan tubuh dari mereka. Kupaksa kakiku melangkah ke pintu. Aku melesat ke tangga, keluar dari pintu belakang. Langit sudah gelap dan udara terasa lembap. Aku menyelinap lewat lubang pagar dan menuju pekarangan belakang Mr. Fleshman. “Dialah kesempatan terakhirku,” aku bergumam. “Dia mesti percaya padaku.” Aku berhenti di bawah jendela belakang, sebab aku mendengar suara Mr. Fleshman. Lewat kasa jendela kulihat tetanggaku itu sedang mondar-mandir di dapur, bicara ditelepon genggam. Aku hendak memanggilnya, tapi urung ketika mendengar kalimatnya. “Ya, aku sudah siap,” katanya di telepon. Hah? Siap? Aku mendekatkan diri ke samping rumah, supaya bisa mendengar lebih jelas. “Aku tahu, aku tahu,” kata Mr. Fleshman. “Aku pernah kehilangan alat itu. Diambil anak tetangga sebelah. Tidak, dia tidak tahu alat apa itu sebenarnya.” Jadi, kotak hitam itu bukan beeper? Mr. Fleshman berbohong. Dengan berdebar-debar aku terus mendengarkan suaranya yang terdengar dari jendela yang terbuka. “Aku sudah. mendapatkan kembali alat itu,” katanya. “Benar, Jenderal, aku sudah bisa mendengar suara mereka dengan jelas sekarang.” Dan jendela kuawasi ia mondar-mandir. Mendadak ia berbalik ke jendela, matanya yang kelabu menatap tepat ke arahku. Aku merunduk. Terus mendengarkan. Apakah ia melihatku tadi? Tidak. Ia berbicara lagi di telepon. “Tidak, tidak masalah,” katanya. “Mereka sudah di sini, Jenderal. Mereka sudah mulai mendarat. Sebentar lagi invasi akan dimulai. Dengar, aku bisa menangani mereka. Mereka tidak mungkin menang. Sama sekali tak mungkin. Akan kami hancurkan mereka. Percayalah padaku, Sir. Akan kulakukan tugasku.” 25 Ia berbohong padaku. Sekarang semuanya sudah jelas. Mr. Fleshman bukan ahli efek khusus. Itu cuma samarannya. Ia sengaja menempatkan makhluk-makhluk dan hantu-hantu itu di rumahnya untuk mengelabui orang. Dan aku sendiri sempat tertipu olehnya. Tapi sekarang aku tahu yang sebenarnya. Mr Fleshman bekerja untuk pemerintah. Mungkin ia dari ketentaraan, atau barangkali ia adalah agen khusus FBI yang ditugaskan untuk menumpas makhluk angkasa luar. Katanya ia sudah siap memerangi mereka. Katanya itulah tugasnya. Ia berjanji pada atasannya akan memusnahkan mereka semua. Aku menarik napas panjang dan pergi dari situ, kembali ke rumahku. Aku mesti mengambil meteorit itu dan menunjukkannya pada Mr. Fleshman Secepat mungkin. Ia tahu tentang invasi itu. Ia sudah mendengar suara-suara itu. Ia tahu mereka akan datang. Ia pasti tahu apakah meteorit ini merupakan kiriman dari para makhluk angkasa luar. Aku lari cepat sekali, sampai tubuhku sakit dan pelipisku berdenyut-denyut. Tanpa memedulikan rasa sakit itu aku masuk ke rumah dan naik tangga ke kamarku. Suara-suara itu. Kusadari bahwa di luar tadi aku tidak mendengarnya lagi. Aneh sekali.... Keringat mengalir dari dahiku, masuk ke mata. Tubuhku masih terasa sakit karena berlari. Aku hendak masuk ke kamarku tapi terhenti di pintu. Dengan sangat terkejut aku menatap meteorit di mejaku. Benda itu... bergerak Kuusap kerigat dan mataku dengan punggung tangan dan aku berpegangan pada pintu supaya tidak jatuh. Seberkas cahaya hijau pucat memancar dari meteorit itu. Cahaya itu semakin terang dan semakin terang, seperti matahari hijau kecil. Cahaya terang itu berpendar-pendar di cermin di belakangnya. Semakin terang dan semakin terang, hingga mernenuhi seluruh cermin. Cahaya hijau itu menyelimutiku. Kutudungi mataku dengan satu tangan, masih sambil berpegangan pada pintu Cahaya itu hangat sekali, seperti cahaya matahari. Ia menyebar di seluruh kamarku hingga segala. Sesuatu di dalam ruangan ini ikut bersinar hijau terang. Lalu kulihat meteorit itu bergerak lagi. Berguncang dan bergoyang. Ia berputar di meja. Semakin cepat, hingga tinggal berupa pusaran cahaya hijau samar. Lalu ia berhenti. Terdengar suara KRAK keras dan panjang, seperti bunyi kenari dipecahkan. Di puncak meteorit itu tampak sebuah lubang kecil segi empat. “Ohhh” Aku berseru ngeri. Aku masuk ke kamar, ke tengah cahaya hijau itu. Aku ternganga ketika sebuah tongkat hijau kecil muncul dari lubang di meteorit. Lalu satu lagi. Tidak Itu bukan tongkat. Itu sepasang lengan Atau mungkin kaki Ada sesuatu yang merayap keluar. 26 KAKIKU gemetar, dadaku turun-naik. Tapi aku maju lebih dekat. Aku mesti melihatnya. Mesti melihat makhluk ini dengan jelas. Sambil menyipitkan mata ke arah cahaya hijau itu, kulihat sebuah kepala yang ramping muncul dari lubang meteorit. Bentuknya sempit, warnanya hijau, berkilat basah. Seperti kepala kadal. Kedua kaki depannya terjulur, kepala itu bergerak ke belakang... mengendus-endus, menghirup udara untuk pertama kali. Lalu sebuah tubuh hijau ramping naik, dari lubang meteorit itu. Seperti tubuh serangga, mirip sebatang kayu. “Ohhh!” Aku memekik ngeri. Seluruh tubuhku gemetar. Kuangkat kedua tanganku ke pipi tanpa melepaskan pandang dari makhluk itu. Aku terpaku mengamati kaki-kaki depan makhluk itu turun pelan-pelan ke atas meja, diikuti oleh tubuhnya yang kurus, lalu kaki-kaki belakangnya. Basah. Basah dan berkilat. Makhluk itu berdiri di atas keempat kakinya. Ukurannya sedikit lebih besar daripada belalang. Ia mengangkat kepala. Dua mata oval, hitam berkilat, menengadah ke langit-langit, mengendus udara sekali lagi. Ia mengendus lebih keras. Keempat kakinya membuat suara basah ketika melangkah ke tepi meja. Sementara aku memandangi dengan takjub, kaki-kaki itu tampaknya mulai tumbuh. Membesar. Makhluk itu melangkah lagi. Kakinya menimbulkan bunyi basah pada setiap langkah. Tubuhnya yang ramping mulai membulat, begitu pula kepalanya. Sekarang ia sudah sebesar kadal. “Ini... ini luar biasa” bisikku. Perlahan-lahan makhluk itu menuruni bagian depan meja. Kepala lebih dulu. Ia semakin besar. Dan semakin besar. Di mejaku tampak sejalur lendir putih kental yang terus menetes ke depan meja, mengikuti makhluk itu. Lalu suara-suara itu terdengar lagi. Bercericip penuh semangat. Sekarang lebih keras. Jauh lebih keras. Dan kusadari bahwa suara-suara itu berasal dari dalam meteorit. Bukan dari dalam kepalaku. Jadi, rupanya aku sama sekali tidak sinting. Suara-suara itu memang ada, berasal dari dalam meteorit. Makhluk itu mendarat di lantai. Kakinya yang basah menimbulkan suara PLOK pelan... dan ia melebar di lantai. Sekarang ia berdiri di atas kaki belakangnya. Membesar... semakin besar.. sampai setinggi meja. Sepasang lengannya yang ramping berkilat dan melebar, membentuk tangan. Mulanya tangan itu hanya berupa kepalan, lalu membuka, menampilkan tiga jemari di setiap tangan. Kepalanya juga berubah. Matanya yang hitam oval membesar dan sebuah dahi persegi terbentuk. Hidungnya tertarik ke belakang. Sekarang aku melihat dua lubang hidung yang dalam dan sebentuk mulut kecil tanpa bibir. PLOK... PLOK.. Makhluk itu maju dua langkah dari meja. Di belakangnva tampak jejak lendir putih. Makhluk itu semakin tinggi dan semakin lebar. Ia mengangkat matanya yang berkilat, sampai... sampai... aku melihat pantulan diriku di dalamnya! Ia melihatku! Makhluk angkasa luar itu melihatku! Sementara aku ternganga ngeri dan ketakutan, ia menjulurkan sepasang lengannya yang panjang dan membuka tangannya yang berjemari tiga. Tangan itu begitu basah dan hijau... bersinar seperti rumput tersiram embun tebal. Ia masih terus tumbuh meregang lebih trnggi daripada diriku. PL000K... PL000K... Ia menguluurkan sepasang lengannya. Dan menghampiriku. BERSAMBUNG Baca kelanjutannya: Invasi Makhluk Pemeluk Manusia Bagian 2 Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================